8. Termometer

20 4 0
                                    

Naila berbaring diatas ranjangnya. Badannya terasa lemas karena acara mogok makannya. 

Zidan : Keluar ke balkon sekarang.

(Read)

"Ck... apaan sih ini anak."

Zidan : Buruan mumpung papa lo keluar.

Naila : Oke.

Naila berjalan gontai menuju balkon kamarnya. Zidan berdiri membawa sekantong barang.

"Apa? Lo ganggu tidur gue tau gak sih."

"Tangkap nih." 

Zidan melempar kantong plastik yang dia bawa.

"Ada roti sama nutella lengkap sama minumnya. Makan! Lo kalo mau pura - pura mogok makan tuh siapin dulu."

"Lo tau dari mana gue mogok makan?"

"Your bad habbit lah."

"Lo ngapain sih pake peduli sama gue. Lo suka kan sama gue?"

"Idih najis. Gak usah sok kepedean deh lo. Kalo gak ada lo, gue gak bisa cari tau ada apa sebenernya sama calon emak lo dan papa gue." 

Naila hanya mengangguk pelan. 

"Gue makan dulu ya, BTW Thanks."

Zidan mengangguk. "Kalo butuh apa - apa telfon gue. Jangan mendadak koit. Ntar gue gapunya alat buat jadi detektif."

"Sialan lo. Udah ah gue masuk dulu."

"Yoi."

Naila masuk kedalam kamarnya. 

"Roti sama minum? Tapi buntelannya segede ini."

Naila membuka kantong yang dia dapatkan dari Zidan. Tidak hanya berisi roti, nuttela dan air saja. Namun berisi obat penurun panas, obat maag, snack dan sheetmask. Tidak hanya itu, naila juga mendapat buku catatan yang bergambar termometer. 'Termometer mood'.

'Kalo lo kesel atau marah. Tulis aja disini.' tulis Zidan di stick note yang dia tempelkan di sebelah halaman pertama buku itu.

"Ada - ada aja ini anak."

---

"Mau kemana kamu?" 

Naila memejamkan matanya dan berbalik menatap ayahnya.

"Mau ke sekolah Yah."

"Udah, gapapa mas. Naila mau persiapan buat Fashion Week di Senayan loh. Dia ikut sama Radit. Anak Pak Surya."

Raut wajah ayah Naila berubah, "Iyakah?"

Naila berjalan mendekat ke meja makan. 

"Yah, doain aku menang ya." Ucap Naila sambil tersenyum.

"Hahaha... Pasti Ayah doain buat kamu."

"Iya soalnya aku udah masuk babak terakhir Debat provinsi. Sekarang aku mau latihan. Minggu depan aku bakalan tanding di UI."

"Naila! Bukannya hari ini kamu ada jadwal prepare sama Radit?" Tanya Dasih.

Ayah Naila diam membisu. 

"Naila berangkat dulu. Udah ditunggu Zidan. Naila mau dianter sama Papa Viko"

"Kamu manggil pak Viko Papa?" Tanya Dasih kaget.

"Assalamu'alaikum."

"Naila!" Panggil Dasih. Naila tetap berjalan keluar tanpa menghiraukan Dasih.

"Lihat mas! Naila makin hari makin susah diatur." Keluh Dasih.

---

"Om Viko. Makasih ya atas tumpangannya. Kalau sepeda Naila gak rusak, Naila mungkin gak bakalan ngrepotin om.

"Gapapa Naila. Gak usah sungkan - sungkan. Lagian om juga mau pastiin Zidan beneran ke sekolah apa kelayapan minggu - minggu gini."

"Pa!" Protes Zidan.

"Oh iya, kamu gak pernah barengan sama Maura? Bukannya Ayah kamu udah beliin Maura mobil baru ya?"

"Pah!" Bentak Zidan.

"Eh, maaf. Om gak bermaksud. Om cuma kasihan aja sama kamu yang setiap hari jalan kaki."

"Aku gapapa kok om...Jalan kaki kan sehat." Ucap Naila yang terlihat senang. Zidan tau Naila pintar sekali menyembunyikan perasaannya.

"Zidan. Kamu besok pake motor aja. Berangkat bareng sama Naila."

"Eh om. Gak usah gapapa."

"Om sekalian nitip Zidan ke kamu Na... Om minta tolong ya."

"Aku gak bakalan bikin ulah deh pah." Protes Zidan.

"Udah, papa balik dulu."

Naila dan Zidan mengangguk. Viko meninggalkan mereka berdua di depan gerbang sekolah.

"Lo kok jadi deket sama Om Viko."

"Ya gue kan anaknya."

"Tapi gak biasanya."

"Buat tau medan perang, kita harus tau isinya dulu kan buat menang?"

Naila mengangguk paham. 


=================Bersambung==================

Next kapan kapan ya Hahaha...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 03, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ZIDANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang