Di sebuah daerah pinggiran kota, hidup seorang penggembala sekaligus pelatih kuda yang cukup masyhur. Dia adalah seorang lelaki berperawakan tinggi dan sedikit kurus, dengan kulit putih. Lelaki itu tengah sibuk melatih kudanya di pacuan miliknya. Beberapa dari kuda yang terdapat di istal tersebut merupakan milik orang lain. Sebagiannya lagi adalah kuda milik pria itu. Kepiawaian dalam mengurus kuda, membuat orang-orang mengenalnya sebagai penjinak kuda. Sebab semua kuda yang berada di tangannya berubah menjadi lebih jinak.
Siang itu dia mengajak kuda kesayangannya untuk berendam di sungai tak jauh dari rumahnya. Dia juga tidak melupakan tombaknya untuk dibawa menangkap ikan. Dengan rambut yang telah ia basahi dengan air, ia pun mengikat poninya. Pemuda bernama William itu menundukkan kepalanya, matanya yang tajam memicing memusatkan perhatian ke air untuk mencari ikan dengan tombak berukuran sedang yang dibawanya. Keadaan air sungai yang jernih, memudahkannya untuk melihat keberadaan ikan di sana.
Usai mendapatkan ikan, ia memilih menepi dan mengumpulkan ikan tangkapannya dan mengikatnya dengan batang rumput yang dijadikan tali. Hidung bangirnya mengkilat diterpa cahaya matahari, dagu lancipnya, rahang yang tegas, serta pipi yang merona oleh panas membuat kadar ketampanannya bertambah. Jangan lupakan juga tetes-tetes air yang berjatuhan dari ujung rambutnya yang basah, membuat siapa saja yang melihatnya akan semakin terpesona.
William menatap sekitar, mencari kudanya yang sudah pergi entah kemana. Hanya dengan sebuah siulan keras darinya, kuda itu merespon dengan meringik cukup nyaring. Seolah mengerti sang tuan memanggilnya, kuda tersebut kemudian berlari menghampiri sang pemilik dengan cepat.
Melihat seekor kuda jantan bersurai hitam berlari menghampirinya, membuat William menyunggingkan senyum bahagianya. Kuda yang ia beri nama James ini adalah temannya, kapan pun, di mana pun, dan ke mana pun, William akan selalu menyertakan James di sana.
Dulu, William mendapatkan kuda ini bukan karena membelinya. Melainkan ia menemukannya di tengah padang rumput yang luas. James adalah kuda liar, semenjak bersama William kuda ini berubah menjadi jinak.
"Waktunya kita pulang James!" William mengelus kepala kuda itu lembut. Ia segera menaiki kuda itu dan memacunya berlari menyusuri jalan setapak di hutan, untuk kembali ke gubuknya.
Di tengah jalan, William menyempatkan diri untuk berhenti saat melihat ada begitu banyak apel yang berjatuhan dari sebuah pohon apel, yang ukurannya lebih besar dari pepohonan lain.
"James, kau ingin apel?" tanyanya pada kuda kesayangannya itu. Meski James tidak mampu berbicara layaknya manusia, bagi William yang mampu memahami James bukanlah sebuah masalah.
William memungut apel-apel yang terlihat masih segar dan bersih. Di tengah hutan seperti ini sangatlah umum jika di tumbuhi buah-buahan liar, seperti apel, pir, peach dan lainnya. William menaruh apel-apel pungutannya ke dalam karung kecil yang ia bawa, sambil sesekali menggigit sebuah apel merah di tangan kanannya.
"Andai pohon apel ini tidak setinggi ini, mungkin aku sudah memanjatnya sedari tadi," monolognya.
"Tebang saja pohon itu!"
Sebuah suara tiba-tiba menyahut ucapan William, membuat pria yang terkejut itu seketika membalikkan badannya ke asal suara. Seorang lelaki tampak duduk di atas kuda tak jauh dari tempat William, tersenyum menatapnya.
"Maaf mengejutkanmu, aku hanya lewat dan melihat kalian. Maksudku kau dan kuda cantikmu." Laki-laki itu merasa jika kedatangannya membuat William terkejut dan was-was.
"Ah, tidak apa-apa. Aku hanya sedikit terkejut, aku kira kau perampok."
"Bukan, aku hanya seorang pengelana."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LAST WIZARD
General FictionWilliam seorang pemuda desa yang bekerja sebagai penggembala kuda, hingga suatu saat dalam perjalanan pulang ia bertemu Kris, sehari setelahnya William menemukan sosok laki-laki yang bersimpuh darah di depan Gubuk tuanya, laki-laki itu bernama Richa...