Bagian 9

231 28 9
                                    

The Last Wizard








Awalnya William tidak akan mengira jika prajurit kerajaan sudah tersebar di mana-mana. Nyatanya berbeda, para pecundang itu—William yang memberi mereka julukan—sudah berbondong-bondong sampai ke daerah terpencil hanya untuk mencari Pangeran Richard.

"Aku sangat menyesal kenapa aku sering melewatkan  pelajaran bela diri di istana." Richard tampak jujur saat mengatakan itu. William hanya tersenyum samar di atas kudanya.

"Memang kenapa?" Dengan nada selembut mungkin William membalas perkataan Richard.

"Ada beberapa hal yang aku benci saat berlatih bela diri,  sebenarnya aku lebih menyukai tombak dan panah."

William  termenung sejenak, ia mencoba mengejar ingatannya kembali. Richard mirip dengannya, bedanya sebenci apa pun dia pada sesuatu dia akan tetap melakukannya dengan sungguh-sungguh. William tahu, di masa depan tidak akan ada yang tahu apa yang terjadi. Untuk berjaga-jaga, apalagi William tinggal sendiri ia sering memaksakan diri berlatih bertarungbertarung dengan alam atau hewan liar. Memang lebih menyeramkan, tapi tidak ada opsi lain selain dengan hewan.

Di kehidupannya, dia tidak begitu banyak berinteraksi dengan orang lain. William tidak begitu menyukai jika ada seseorang yang terlalu dekat dan mengenalnya.

William tertawa, "Dulu aku juga begitu. Tetapi karena suatu hal, meskipun aku tidak menyukai hal itu aku terpaksa harus melakukannya. Bukan untuk siapa pun, tapi untuk diriku sendiri. Aku hidup seorang diri, kakekku bilang tubuhku kecil meskipun aku tinggi, dan karena alasan itu akan sangat mudah jika perampok menyerangku."

Pangeran Richard tampak tertegun, ia sadar jika hidupnya sebelum ini penuh dengan kemewahan dan rasa amam yang menipu. Bahkan banyak orang yang begitu mencintainya. Orang-orang hebat selalu hadir di sekitarnya, jadi Richard pikir dia akan baik-baik saja. Tetapi kini tidak lagi, untuk berhubungan dengan istana pun dia tidak bisa. Bahkan ia tidak tahu siapa yang harus ia percaya di dalam dinding kokoh itu.

Perjalanan kali ini tidak begitu terasa, mereka berdua telah masuk terlalu dalam ke dalam hutan ini. Richard sendiri tidak begitu tahu jalan, tapi William sudah hafal seluk-beluk hutan ini.

"Kita akan bertemu dengan Kris di daerah ini, itu pun jika Kris tidak mencari jalan memutar lain."

Richard menoleh dan berkata, " Bagaimana jika kita tidak bertemu?"

William tersenyum, " Maka kita akan pergi ke bukit batu dan bertemu di sana."

"Ha?"

"Aku sudah mengatakan itu pada Kris."

Richard mengangguk-anggukan kepalanya paham. Hanya saja di dalam benaknya, dia masih tidak menyangka jika William sehebat itu. Tidak hanya pandai dalam pengobatan, dia bahkan hebat dalam bertarung. Tapi hari itu, saat dia mengintip Kris dan William bertarung, Richard pikir William tidak mahir dalam bertarung.

"Aku ingin bertanya." Dengan suara ragu Richard berjuar pada William.  William diam tanpa bersuara, tapi dia mengangguk mempersilahkan.

"Bagaimana bisa kau melawan 3 orang hanya dengan panah?"

William terkekeh, begitu juga James yang juga melengkingkan suara. " Itu rahasia."

Richard merasa seperti sedang di permainkan pun menyusul kuda William yang meninggalkannya. Richard tidak semudah itu puas dengan jawaban yang di gelontorkan laki-laki berkulit pucat dengan rambut pirang itu. Namun, William tetaplah William. Dia memiliki pembatas tak kasat mata yang orang lain tidak mampu menembusnya. Meskipun Richard bertanya berulang kali pun, William hanya akan diam tanpa menggubris.

William berada di depan saat pepohonan mulai beringsut dan memudar. Cahaya matahari pun tanpa celah mampu jatuh menerpa wajah kedua manusia itu. William mengerutkan alisnya, matanya menatap tajam ke arah bukit yang penuh dengan rerumputan di seberang.

Ia dan kudanya menoleh ke arah Richard dan berkata, "Aku pikir, sesuatu telah terjadi pada Kris. Biasanya di bukit itu terpasang bendera kerajaan, tapi hari ini tempat itu kosong. Aku yakin mereka merubah rute, akan berakhir buruk jika mereka bertemu Kris."

Pangeran Richard menggosok keningnya dan berujar, " Lalu kita harus bagaimana?"

Iris mata hitam itu menatap Richard dalam seolah mencari sesuatu yang terselubung di diri Richard atau sekedar ingin menelanjanginya membuat bulu kuduk yang di tatap pun meremang.

Berhenti menatapku, sialan! keluh Richard dalam hati.

"Kita menyusul mereka ke hutan gelap."

"Ha?" Richard membulatkan mata tak percaya. 

"Aku bahkan hampir mati di sana!" lanjutnya.

"Itu kesempatan kita. Kita hanya perlu menghadapi sekitar 10 orang. Tidak mungkin seluruh prajuritnya akan turun tangan, kebanyakan dari mereka akan tersebar ke seluruh pelosok daerah.
Lagi pula, jika Kris dan Penasehat itu mati kau sudah tamat di sini!"

Ucapan William membuat Richard gelisah, saat ini bukan lagi waktunya untuk menjadi pengecut. Meskipun harus bertaruh nyawa itu lebih baik daripada berdiam diri dan mengalah.

Ingat, jika dia mati dan tahta di pimpin pamannya. Maka tirani akan berkuasa dengan semena-mena, bahkan mungkin seluruh rakyat akan menderita lebih banyak. Richard diam-diam memikirkan segala kemungkinan yang terjadi, hati dan pikirannya mungkin sekarat.

"Lagi pula, di hutan itu mereka tidak akan bertahan." William tersenyum sinis.

Bulu kuduk Richard meremang melihat senyum licik William, baru kali ini Richard menghabiskan waktu berdua bersama dengan orang yang penuh misteri. Bagi Richard, William hanya seorang laki-laki biasa di awal pertemuan tetapi semakin ke sini Richard merasa ada sesuatu lain yang tersembunyi di dalam diri William.  Richard mulai menebak-nebak bagaimana sikap William bisa berubah sedeastis ini.

Kemudian, William memalingkan wajahnya menatap berlawanan. Richard sedikit mencuri pandang pada punggung tegap itu. Bahkan punggung itu lebih kecil darinya, tapi dia mampu melumpuhkan 3 orang seorang diri. Kedua alis Richard menukik saat menyadati sesuatu yang salah pada William, lebih tepatnya pada busur panah William. Saat mereka berangkat Richard tahu betul jika terdapat 9 buah anak panah tapi sekarang busur itu masih memiliki 9 anak panah tanpa berkurang.

Richard mengernyit heran, ia memijat kepalanya yang mulai berdenyut. 'Ah, sialan! Aku semakin gila.'  Ia pikir jika mungkin saja dia salah menghitung jumlah anak panah itu saat di rumah William.

Hah.

Hanya desahan pasrah yang ia keluarkan. Sebelum matahari meredup dan langit menggelap, mereka berdua menuruni bukit dan memacu kudanya menuju utara.



























Bersambung.

Mohon vote dan komennya, agar saya tahu dimana letak kesalahannya.

#note
Gunakan bahasa yg halus. ^^

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

THE LAST WIZARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang