5. Denganku saja!

174 24 14
                                    

Fe pulang ke rumah dalam keadaan lapar, perutnya meraung-raung minta diisi sehingga begitu cepat gadis itu mengatur langkahnya tiba di dapur lalu membuka tudung saji. Tak beruntung, nggak ada satupun lauk tersisa di atas meja makan, adanya cuma se toples kerupuk yang sudah nggak kriuk lagi. Fe pun terpaksa memasak Mie sendiri jika tak mau berakhir kelaparan.

"Kak, masakin Esa juga dong!"

Sama seperti dirinya, Esa pun baru saja pulang sekolah. Karena sistem pendidikan jaman sekarang mengharuskan anak sekolahan berlajar seharian penuh, tak ayal Esa selalu pulang sore dan kelaparan sampai rumah.

"Mau apa, kari ayam atau soto?"

"Indomie pokoknya," jawab Esa lalu membuka kulkas di samping keran wastafel dan mengambil sebotol minuman dingin. "Kasih telur ya, Kak?" tambah Esa lagi.

Fe berdecak. "Banyak maunya banget ini bocah. Dikasih indomie malah minta tambahan telur."

"Ya kan tinggal di tambahin aja, Kak. Esa nggak kenyang kalau cuma mie doang."

"Makan sama nasi biar kenyang."

Esa merengut. "Yang ada malah kekenyangan itu mah."

"Telurnya cuma satu, buat kakak. Kamu kalau mau, beli sendiri di warung."

Esa tersenyum, tangannya ia tadahkan lalu memasang tampang melas. "Duitnya?"

Fe tersenyum miring. "Minta sama ibu, kakak nggak punya duit. Abis semua buat ngeprint."

"Esa juga nggak punya duit kak, uang kas Esa numpuk, jadinya uang jajan yang ibu kasih Esa bayarin semua kesitu."

Fe mencibir. "Boong banget, sejak kapan kamu bayar duit kas, huh? Kemarin-kemarin kamu udah minta uang sama ibu buat bayar kas, masa tadi bayar kas lagi? Lain kali kalau kamu ditagih bilang aja nggak ada!"

"Kakak mah enak pinter boong, Esa kan nggak bisa boong kak. Dosa. Ayah bilang—"

"Iya udah deh. Telurnya buat kamu aja." putus Fe kemudian, mengalah.

Saat Adiknya sudah berlalu dan mungkin sekarang tengah berleha-leha di ruang tamu sambil menonton beragam tayangan tv, Fe masih berkutat dengan irisan cabe di atas talenan. Jika Esa seringkali tidak suka mie-nya diberi tambahan irisan cabe, maka Fe akan sangat tidak bisa menyeduh mie tanpa irisan cabe diatasnya, sekalipun nggak sampai lima butir, itu sudah cukup.

Fe mengiris cabe sambil memunggungi sang ibu yang kebetulan mampir ke dapur untuk mengambil sesuatu. Tanpa ia sadari, ibunya berdiri di belakang lalu berbisik. "Ngapain Kak?"

Mengelus dadanya, Fe merasa kaget. "Ibuk ngagetin aja, sih?"

Linda tertawa. "Ya maaf, abisnya serius banget Kakak ngirisin cabenya sampai nggak ada bunyi suara sama sekali."

"Kakak lagi konsen nih, takut biji cabenya masuk ke mata," Fe memberi alasan, sang ibu cuma tertawa.

"Ibu mau Fe bikinin Mie juga?" tanyanya tanpa berbalik ke belakang, sang ibu menggeleng. "Nggak usah, ibu nggak laper."

Jemari Linda tergerak meraih bumbu dapur yang sudah dihaluskan dari dalam kulkas, bumbu dapur yang kerap Fe dan Esa kira es krim karena sengaja ibu kemas di dalam wadah cup bermerk Cornello. "Seriusan nih ibu nggak mau? Mumpung Fe masih baik lho ini." anak itu tertawa, namun ibunya tak memberi reaksi apa-apa.

Ibu meraih wajan serta minyak goreng kemasan lalu meletakkannya di sebelah rebusan mie yang belum sepenuhnya masak. "Mau numis bumbu, bu?" tanya Fe.

"Iya," jawab Linda. Tatkala matanya bersinggungan dengan mata sayu sang ibu, Fe dapat merasakan bagaimana mimik wajah wanita itu tiba-tiba berubah keruh. "Kenapa sih buk? Ada masalah ya?" tanya Fe sambilan mengaduk bumbu mie-nya yang telah tercampur air dan mie di dalam panci.

PRINCE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang