13. Sisi lainnya

136 19 3
                                    


Dua hari sebelumnya, Fe sempat ditawari sebuah tiket seminar ekonomi kreatif dari salah seorang kenalannya di UKM koperasi— tempat Fe beroganisasi sekaligus jalan ninjanya menjuali produk cemilan ringan sang ibu.

Nama kenalan itu Diyannah, cewek berkulit tan, dengan tinggi semampai dan dikenal aktif dibanyak sekali organisasi. Namun satu-satunya yang paling dia seriusin cuma Mapala, ikatan mahasiswa pecinta alam.

Diyannah sudah membeli tiket seminarnya dari jauh-jauh hari, namun terpaksa dia urungkan niatnya pergi ke seminar tersebut sebab berbentrokan dengan jadwalnya mendaki ke gunung Kabah.

Fe sempat terpelongo takjub sewaktu diberi selembar tiket seharga dua ratus lima puluh ribu itu. Sampai-sampai ia berpikir apakah ia bisa me-refund tiket ini dengan uang saja?

"Enak aja lo. Ilmu ini tuh ilmu. Seminarnya bakalan mendatangkan seorang wirausahawan lulusan Aussie. Dia merupakan pengusaha terkenal yang udah nerbitin puluhan buku selama rentan waktu dua tahunan ini. Pokoknya lo harus datang, dan dapetin sertifikatnya buat gue. Plis banget Fe, gue mohon. Gue nggak bisa ikut seminarnya, mendaki gunung Kabah adalah prioritas gue saat ini."

Mendengar segala rentetan ucapan Diyannah membuat Fe terhasut untuk bantuin anak itu mendapatkan sertifikat yang dia mau. Toh dengan mengikuti seminar ini berarti ia telah meluangkan waktunya demi ilmu ekonomi yang sangat bermanfaat bukan?

Ide bagus. Not bad lah.

"Oke. Kapan jadwalnya?"

"Minggu."

Fe mengacungkan jari jempol. "Sip. Gue mau deh kalau hari minggu, hehe."

"Nah gitu. Yaudah gue cabut dulu ya?" Diyannah mengikat scarf dilehernya dan ikat kepala serta jaket parasut yang betulan mengubah tampilan anak perempuan ini menjadi tomboy abis. "Pergi ya, Fe?"

"Hati-hati," ucap Fe seraya melambaikan tangan pada sosok Diyannah yang telah berlalu keluar area gedung UKM.

Tiket seminar pemberian Diyannah ia kantongi di saku jaketnya. Sempat mengelilingi area lantai bawah gedung UKM dan tak menemukan hal lain yang bisa dia kerjakan. Alhasil Fe pun ikut berlalu. Hari itu masih jumat, jam kuliahnya sedang kosong karena beberapa dosen memilih cuti untuk persiapan akreditasi jurusan.

Mungkin pulang ke rumah dan menikmati tidur siang akan jauh lebih berfaedah, pikirnya.

Maka Fe pun berlalu dan pulang ke rumahnya.

Hari minggu berjalan cepat. Pagi-pagi sekali Fe sibuk berkutat di depan lemari, memilih-milih apa gerangan outfit yang bagus untuk ia kenakan di seminar nanti. Pikiran jika nantinya di sana ia akan berjumpa dengan banyak cowok-cowok dari fakultas lain membuat Fe kepingin jadi cantik dan sedikit bergaya feminim.

Dress bercorak bunga-bunga Daisy selutut ia kenakan di hari itu. Rambut coklat pirang asli yang tergerai dan outer yang bisa menutupi lengan terbuka dress-nya sudah yang paling cocok deh ia pakai.

Tidak lupa sepatu converse hijau.

Dia suka warna hijau soalnya.

"Mau kemana?" tanya ibu pada Fe yang wanginya semerbak. Esa yang barusan lewat sambil mengucek mata saja sampai melek—padahal mukanya bantal banget tadi.

"Mau ke seminar."

"Sepagi ini?" tanya ibu heran sambil melirik jam dinding yang baru saja berdetak di angka tujuh lewat empat puluh menit.

"Fe berangkat jam delapan lewat kok. Ini mau sarapan dulu ceritanya."

"Oh," ibu tersenyum memaklumi dan beranjak ke dapur, mengambil semangkuk bihun tumis yang tadi ia masak untuk sarapan anak-anaknya.

PRINCE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang