6. Gengsi

142 20 6
                                    

"Bapak kenapa manggil saya?"

Sekitar jam empat sore saat Pak Nas baru saja usai membimbing skripsi mahasiswanya, Fe secara tepat waktu singgah ke ruangan sang dosen tersebut sebelum beliau pulang ke rumahnya.

Datang-datang ke ruangan itu, Fe langsung saja melempar tanya, tentunya dengan mengetuk pintu dan mengucap salam terlebih dahulu.

"Nah ini dia.. Tak cariin dari tadi siang nggak muncul-muncul juga si tiwul ini."

Kebiasaan Pak Nas memanggil Fe dengan sebutan Tiwul, makanan yang terbuat dari ubi yang rasanya manis itu. Mungkin karena perawakan tubuh Fe kecil, makanya pas banget apabila disebut tiwul. Karena imut, dan gampang diingat.

"Ya terus kenapa panggil saya Pak? Orang tadi waktu saya datang ke sini aja saya disuruh keluar, kok."

"Wes duduk dulu lho kalau orang tua lagi ngajak ngomong. Kamu ini koyok wedus ae,"

Fe garuk-garuk kepala, "Apaan sih bapak? Udah tau saya orang Padang, diajakin bahasa Jawa."

Fe berkata begitu sambil narik satu kursi untuk dia duduki, kemudian tatapannya ia fokuskan menilik ekspresi Pak Nas. Menanti apa gerangan yang hendak si bapak katakan padanya.

Ada selembar kertas tertarik dari dalam laci. Kertasnya berukuran A4, mirip persis seperti mini poster yang sering di tempel di Mading.

"Apa itu pak?" tanya Fe, cepat.

Pak Nas menggeser kertasnya menyentuh tangan kanan Fe yang terlipat di atas meja. Segera Fe ambil dan dia baca.

Beasiswa bank swasta bagi mahasiswa peraih IPK di atas tiga.

"Nah, itu informasi yang kamu cari-cari, toh?"

Fe mengangguk ragu. "Iya sih Pak. Tapi gimana caranya ikutan coba?"

"Ya dibaca toh ndok, lulus SD kan kamu dulu?"

Fe nyengir masam. "Lulus lah, bapak ini ada-ada aja."

"Informasinya itu bapak dapet dari Aksa, dia yang nyaranin kamu apply beasiswa di sana. Belum ada yang tahu, rencananya mini poster ini akan ditempel mulai minggu depan, dan kalau kamu sudah bergegas mengumpulkan persyaratannya itu, bisa-bisa kamu yang nanti beruntung dapet beasiswanya." jelas Pak Nas.

Mendengar nama Aksa membuat Fe merasa aneh. Sewaktu di kelas tadi kenapa Aksa nggak langsung katakan saja pada Fe jika ada infomasi beasiswa yang memungkinkan bisa dia dapat. Dan juga, bagaimana pula Aksa bisa tahu kalau dia sedang mencari beasiswa? Apakah tadi siang Aksa menguping pembicaraan dia dan Pak Nas?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut berkumpul menjadi satu kesatuan yang ingin Fe tuntut jawabannya sekarang juga, maka dari itu dia sontak bertanya. "Dari mana Aksa tahu saya lagi cari beasiswa ya, Pak?"

Bahu Pak Nas menggendik. "Nah kalau masalah itu kamu tanyakan saja sama Aksa."

"Kok gitu Pak?"

Sepasang mata silinder Pak Nas memicing, "Apanya yang kok gitu?"

Lagi-lagi Fe nyengir. "Iya-iya, ampun!"

Mengambil mini poster yang diberikan Pak Nas padanya tadi kemudian dia masukan ke dalam tote bag, Fe pun pamit undur diri dari hadapan sang dosen. Pak Nas masih memiliki sejumlah tugas yang harus dia selesaikan di ruangan tersebut, tak heran beliau belum bisa pulang meski hari telah berlangsung sore.

Sejak awal semester, Bapak ini selalu menjadi jembatan pertama yang akan dilewati mahasiswa untuk bertanya mengenai beberapa masalah yang terjadi pada mereka. Sikapnya yang ramah-ramah jutek, juga sedikit cerewet dan pedas namun tetap perhatian tak ayal selalu membuat para mahasiswa merasa lebih nyaman bercengkrama dengan beliau. Apalagi jika menyangkut urusan beasiswa begini. Pak Nas selalu bisa di andalkan sekaligus menjadi andalan.

PRINCE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang