19. Melewatkanmu (END)

191 20 15
                                    


Memandangi wajahnya di pantulan cermin wastafel. Lingkaran mata Fe berkedut, tepat di bagian bawahnya menghitam. Kedua tanda ini jelas disebabkan karena dia terlalu sering bergadang mengerjakan tugas kuliah dan menjadi tidak tidur semalaman atas banyak urusan yang datang silih berganti ke hidupnya akhir-akhir ini, termasuk urusan hatinya kepada sosok yang mungkin saat ini nggak akan pernah menjadi seseorang yang menyukainya.

"Fe... Ini yang lo mau. Aksa berhak mundur karena dia nggak pantes ngejer-ngejer cewek aneh kayak lo. Nggak," gadis itu menggeleng bersama tetesan air mata jatuh di kedua pipinya. Sakit. Itulah rasa yang timbul selepas panasnya air mata merembes jatuh. Perih, itu juga rasa yang mampir walau hanya sekelebat - karena lima menit setelah itu Fe mutusin berbalik lalu keluar dari area toilet.

Kembali memasang tampang baik-baik saja di depan dua orang yang sangat ingin dia teriaki sampai tenggorokannya tercekat itu nyatanya cukup sulit juga ia lakukan. Tapi demi ego, pride, atau apapun itu. Fe harusnya memang begini, agar supaya tak ada satupun orang yang bisa mengejeknya. Mengatakan ia payah, lemah, dan lain sebagainya.

Selepas mengeringkan tangannya di keran wastafel, sneakers Fe menginjak area pelataran toilet kemudian menemukan sebilah punggung tegap yang entah bagaimana terlihat sedang membenturkan kepalanya di dinding.

Fe menggigit bibir. Ia meremas kuat-kuat kedua kepalan tangannya dan mencoba bernapas teratur, tapi setelahnya terasa sulit sebab Aksa- sosok yang berdiri di lorong toilet itu- terlihat berbalik menghadapnya.

"Aksa? Ngapain?" tanya Fe, merasa heran.

Ini kan toilet cewek. Bisa-bisanya dia masuk kemari lalu berdiri dengan gaya sesantai itu. Tidakkah dia takut pengunjung cafe akan masuk dan memergoki mereka berdua?

Dasar. Selalu saja dia cari masalah - kesal Fe.

"Udah selesai?" Aksa bertanya dengan nada yang ia atur sebiasa mungkin, seolah tempat yang pijaki bukanlah area terlarang.

Fe tentunya merasa takjub. Apalagi ketika Aksa berusaha mendekat dan meraih tangannya, namun dalam sekejap Fe segera menepis.

"Apaan sih?" sinis Fe, memicingkan matanya kesal. Ia hempaskan tangan Aksa yang untuk kedua kali hendak meraih pergelangannya, namun tetap saja. Fe nggak suka diberi sentuhan seperti ini jikalau pada akhirnya mereka nggak akan terlibat hubungan apa-apa, selain teman sekelas.

Saat Fe baru saja melewati tubuh Aksa, cowok itu kembali bersuara.

"Aku minta maaf," ucapnya. Terdengar seperti rangkaian kata yang sungguh-sungguh dan super tulus. Namun hati Fe seketika terluka detik itu juga.

"Aku nggak akan nyalahin kamu. Karena aku justru bersyukur pernah punya harapan sama kamu, Fe. Buat aku, sebaik-baiknya perasaan yang aku punya selama ini, cuma sama kamu yang terasa tulus dan benar-benar tumbuh dari dasar hati yang terdalam."

"Oh, shit.." Fe mengumpat dalam hati, rasanya sakit. Sesakit saat ia pertama kali jatuh di waktu kecil, sesakit ketika Fe menonton adegan drama netflix yang menyanyat hati dan membuatnya menangis semalaman. Bahkan, apa yang Aksa katakan jauh lebih sakit daripada ditinggal pergi sahabat terbaiknya dulu, semasa ia berada di taman kanak-kanak. Hey, ini namanya patah hati teman. Patah hati, kalian tahu?

"Kenapa minta maaf?!" cicit Fe, berusaha biasa saja, padahal hatinya sudah hancur berkeping-keping- hanya tidak ingin dia katakan saja.

Maka Aksa mempersempit jaraknya dengan Fe, berdiri tepat di belakang gadis itu lalu meraih satu kehangatan kecil lewat sentuhan tangan keduanya yang menyatu. "Saat itu aku nggak mikir panjang untuk menerima orang lain masuk ke dalam hidup aku, Fe. Aku pikir kamu emang terlalu rumit untuk aku mengerti. Terlalu complicated untuk aku pahami, dan terlalu jauh untuk aku raih. Sampai akhirnya semua perasaan yang aku punya sama kamu memiliki batasnya untuk bertahan."

PRINCE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang