9. Mencoba menepis

126 21 3
                                    

Berkali-kali Fe menghembuskan napas tak menyenangkan dari bibir tipisnya ke udara. Selimut yang ia pakai tersingkap hingga angin di jendela menerobos masuk menghunus kulit, membuatnya kedinginan.

Pandangan mata Fe menekuri jutaan kelap-kelip bintang di atas langit, merasa sedikit tenang walau hanya sekadar memandangi keindahan malam.

Tadinya ia pikir hal ini cukup untuk membuatnya merasa tenang sampai tertidur dan berhenti memikirkan pernyataan suka Aksa tadi sore.

Tapi tidak. Tidaklah demikian.

Gila..

Ini gila.

Fe nggak bisa menelan kenyataan ini bulat-bulat tanpa sedikitpun berprasangka buruk tentang semua yang Aksa katakan padanya tadi.

Suka?

Suka seperti apa yang dia maksud?

Jadi pacarnya?

Pacaran?

Dia, Aksa? Pacaran?

Hahahaha

Fe tertawa geli. "Gue pacaran sama Aksa? Buat apa? Aksa ngapain pake suka ke gue segala sih? Emangnya stok cewek cantik di kota ini semakin berkurang apa? Kenapa dari sekian banyak cewek yang naksir sama lo, yang lo pilih malah gue? Kenapa sih? Aneh-aneh aja itu cowok."

Napas Fe berhembus kembali, lebih panjang dari sebelumnya. Fe menarik rambutnya kuat-kuat sampai terasa nyeri. "Aksaaaaaaa, kenapa lo suka sama gue, Sa? Kenapa? Cari cewek lain aja sana jangan gue!!"

Ting.

Suara notifikasi whatsapp berdenting,  Fe melirik sekilas namun malas dia baca.

Berkali-kali pesan masuk di aplikasi yang sama, membuat genggaman tangan Fe di rambutnya terlepas.

Meraih ponsel itu, Fe berusaha membaca pesan di dalamnya.

Adhyaksa Wildan

Kamu udah tidur?

"Kalau gue udah tidur kenapa? Kalau belum tidur juga kenapa?" sewot Fe pada angin malam yang berhembus, lebih tepatnya juga pada pertanyaan yang diajukan Aksa.

Adhyaksa Wildan

Kamu masih online.

Kalau gitu aku cuma mau bilang, tolong jangan terbebani.

Aku nggak maksa kamu untuk bales.

Cuma pengen kamu tahu.

Kalau aku suka, itu aja.

Goodnight, Kirana.

Bubble chat Aksa semakin banyak, disaat yang sama juga membuat Fe geregetan. Kepingin dia balas, tapi apa?

Fe harus ngomong apa?

Dia nggak ngerti gimana caranya berbasa-basi dengan cowok yang notebene menyukai dirinya. Nggak. ini bukan kali pertama ada cowok yang mengaku menyukai Fe, dulu waktu SMP pernah ada cowok yang menyatakan perasaan padanya, mereka pacaran. Tapi saat itu setahu Fe pacaran cuma sekadar melirik si cowok dari belakang, berdebar-debar akan kehadirannya walau hanya diliat dari kejauhan. Hal baik yang terjadi hanya sebatas ditraktir jajan cilok di kantin, atau di ajak jalan-jalan sore sambil liatin cowok itu main bola. Hanya itu. Nggak spesial.

Hari-harinya berjalan hambar tanpa adanya status berpacaran semenjak masa-masa sekolah menengah pertama itu terlewati. Sejak mulai sibuk mengurusi ujian masuk SMA negeri dan bertemu banyak teman, Fe nggak pernah lagi merasa tertarik pada laki-laki. Bukan berarti dia tidak normal, Fe hanya membatasi ruang geraknya dengan laki-laki, karena baginya memiliki kisah cinta hanya akan membuatnya lupa akan tujuan utamanya di sekolah — berprestasi dan mengejar target masuk ke kelas IPA, walau pada akhirnya ia tetap saja gagal dan berakhir dengan masuk ke kelas IPS. Kendati begitu, di kelasnya juga nggak ada cowok yang ganteng, adanya cuma cowok berkulit gosong dan suka merokok.

PRINCE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang