17. Perlahan berlalu

122 21 8
                                    

"Lo abis darimana?"

Suara manis Viona terdengar di sebelah kirinya. Daripada ingin menoleh, Fe lebih memilih berdiam diri dan tak menjawab.

"Lo nggak bareng Aksa ya ke sini?" pertanyaan kedua Viona mendapat reaksi kaget dari Fe. "Kenapa harus bareng dia?"

"Tadi di gedung PKM gue nggak sengaja papasan, terus gue nanyain ke dia mau kemana. Eh Aksa-nya malah jawab dia mau ke kos Harris buat nyariin elo. Jadi, ya, gue pikir kalian kesininya bareng gitu. Apa nggak ya?"

Fe menggeleng. "Gue nggak ketemu dia." dustanya.

Harris tiba di depan Fe, menggeser kursi ke belakang sambil mendaratkan bokongnya mulus di atas permukaan kursi. Ada keraguan terjalin di setiap untaian kata yang ingin dia ucapkan pada gadis berambut pirang alami itu. Namun Harris sadar diri, dia nggak sedang dalam posisi terbaiknya untuk mengajak Fe bicara.

"Semuanya udah masuk?" Dosen di depan kelas mengambil alih keheningan yang tercipta sejak tiga puluh menit lalu. Semua orang kompak mengangguk, dan materi kuliah resmi dibahas setelah itu.

Satu yang tak dapat Fe elak saat ini. Yakni, ketidakhadiran Aksa di kelas nyatanya mampu membuat Fe terus-menerus mencari jejaknya di depan pintu.

Silih berganti pertanyaan merambat hatinya. Seputar kenapa Aksa nggak masuk di jam kuliah sore ini padahal tadi pagi dia masih ada.

Atau jangan-jangan saking dia marahnya pada Fe, Aksa jadi mengurungkan niat menghadiri perkuliahan?

Wow, gimana bisa kayak gitu sih?

Udah kayak ribut besar aja.

Sekian jam berbicara di depan, kelas pun diakhiri sang dosen seraya melempar tugas untuk pekan depan.

Helaan napas malas berhembus serentak. Dosen komunikasi itu nggak pernah sekalipun absen memberi tugas kepada mahasiswanya. Padahal ujian akhir semester akan segera bergulir, dan harusnya nggak ada lagi tugas untuk dikerjakan. Atau minimal kurangi sedikit dari porsi biasanya.

Tapi tidak, mereka tak bisa meminta demikian. Karena hal tersebut terlalu muluk-muluk.

Saat kelas sudah sepi karena satu persatu penghuninya bergantian pergi dari ruangan menuju ke rumah masing-masing. Hari sudah beranjak sore, kuliah terakhir juga sudah selesai. Fe nggak memikirkan tujuan lain selain pulang. Tersisa Fe dan Harris berduaan di kelas. Kalau Fe sih sibuk memasukan barang-barangnya ke dalam tas. Namun Harris, kesibukan yang ia lakukan justru memandangi wajah Fe dari samping.

Nggak tau siapa duluan yang harus bicara, yang pasti mereka berdua memang paling tidak bisa bertengkar lama-lama. Jika tidak Fe yang menegur lebih dulu, ya bisa saja Harris mengambil inisiatif untuk pertama kali.

Dan ketika getar suara berat Harris terdengar di sebelahnya. Fe sungguh-sungguh ingin menjauh pergi, tapi tak bisa. Harris sudah lebih dulu menahan kakinya berlalu.

"Hey, gue nggak beneran mau nyium lo. Suer deh. Maaf ya udah bikin lo kaget. Lagian lo tadi pagi juga udah gue ingetin, kalau masih di kosan gue, gue bisa aja khilaf sama lo. Makanya tadi tiba-tiba aja gue kepikiran bilang mau nyium lo. Dan itu karena gue asal ceplos aja kok, Fe. Sorry. Gue nggak maksud bikin lo berantem sama Aksa."

Rentetan ucapan Harris luar biasa mendidihkan aliran darah di sekujur tubuh Fe. Dia nggak pernah mengira bisa mendebat seseorang seperti Aksa dalam keadaan mereka berdua nggak ada hubungan apa-apa. Tapi herannya, Fe malah kepikiran terus-menerus. Dia merasa bersalah, namun dilain sisi dia juga nggak mau serta merta meminta maaf.

Fe nggak ngerasa salah.

Hatinya miliknya adalah hak dia sendiri. Mau dia suka ataupun tidak dengan Aksa. Fe tetap memiliki hak atas perasaannya, karena ia meyakini hatinya belum sepenuhnya tertaut pada cowok itu.

PRINCE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang