Tara melihat pantulan dirinya di cermin kamar. Dengan pakaian pramuka, gadis itu siap menghadapi hari ini. Pagi ini, aura dari gadis itu memang cukup positif dan fresh.
Taburan bedak bayi dan sedikit olesan lipbalm peach, menambah segar-nya penampilan Tara.
Hal itu bukannya tanpa sebab, es krim yang diberikan Wafhi kemarin, tandas hanya dalam waktu kurang dari 15 menit. Ditambah setelah itu, Tara langsung menghabiskan waktu di bawah guyuran air panas dari shower.
Lalu makan dengan lahap di malam hari bersama keluarga dan terakhir, bermasker ria selepas makan malam.
I wish, today is better than tomorrow.
Dengan energi, keyakinan, dan semangat pagi, ia turun ke meja makan untuk sarapan dan pergi ke sekolah, setelahnya.
***
Kelas sangat tidak terkontrol pagi ini. Hal ini bukannya tanpa sebab, sang guru Bahasa Indonesia yang mengisi pelajaran pagi ini, belum tampak batang hidungnya.
Tak lama, Nabil masuk ke kelas, berusaha menertibkan situasi.
"Gue mau ngomong. Coba diem dulu, bentar."
Tara mengalihkan perhatiannya dari novel yang ia baca. Tak elak, yang lain juga berusaha mengerti dan memperhatikan Nabil yang berada di depan kelas.
"Jadi gini, Bu Tiar gak masuk. Pesan dari guru piket yang katanya ini dari Bu Tiar. Kita disuruh ngumpulin tugas yang minggu kemaren, yang tentang Teks Anekdot itu kalo gak salah."
Sekelas lantas mengepalkan tangan dan yeay!. Lantas berbondong-bondong ke meja guru kelas untuk mengumpulkan tugas yang disebutkan Nabil.
Di situasi lain, Tara, Raina, Alzha, dan beberapa teman lain memilih ngerumpi di barisan meja ujung setelah mengumpulkan tugas. Membahas dari yang awalnya selebgram, hingga sekarang, menceritakan saudara masing-masing.
"Gue tuh ya kadang suka kesel sama Mbak gue. Pengadu banget orangnya!" Jelas Afifah dengan suara lantang. Beberapa terkekeh, menanggapi cerita Afifah.
"Eh seharusnya enak dong lo. Punya kakak cewek. Gue tuh selalu pengen punya kakak, apalagi kakak cewek. Ini malah gue yang jadi kakak!" Imbuh Fariqa dan disambut anggukan kepala oleh Oliv, Raina dan Rona.
"Lo lo semua tuh masih mendingan. Punya sodara yang bisa lo ajak gelud. Lah gue, udah status jomblo, anak satu-satunya pula. Untung aja, bibi yang sering bantu-bantu di rumah gue suka bawa anak kecil ke rumah. Kalo enggak, kesepian gue pasti." Jelas Alzha dengan bibir mencebik.
Alzhara Nadza adalah seorang anak semata wayang di keluarganya. Namun, kedua orang tuanya selalu memiliki waktu luang untuk Alzha dan membuat Alzha tidak merasakan yang namanya broken home.
Fariqa menepuk pelan pundak Alzha, bermaksud menenangkan.
"Eh, dari tadi kita-kita pada cerita. Tara sendiri yang belum buka mulut. Ngatup mulu dari tadi." Ucap Fariqa mengalihkan topik pembicaran dan sontak membuat seluruh pasang mata di kerumunan rumpi menatap Tara.
Tara mengerjapkan mata, terkejut. Mengusap dahi karena salah tingkah.
"Sorry-sorry. Gue keasikan denger cerita-cerita kalian. Gue sama kok kaya' Fariqa, Oliv, Raina dan Rona. Gue punya adek. Adek gue cowok."
Kerumunan itu mendadak ramai.
"Wih, enak dong. Bisa diajak seru-seruan bareng, Tar." Seru Oliv.
"Adek lo masih kecil atau udah gede?" Tanya Rona.
"Adek gue kelas 9. Gak seru orangnya, suka ngusilin." Ujar Tara dengan nada geram.
"Sama kaya' adek gue dong kelakuannya. Bedanya, adek-adek gue cewek semua." Ucap Raina.
Kriiing!
Satu kelas lantas riuh dan berlarian ke luar kelas. Kerumunan rumpi tak elak melakukan hal yang sama. Berangkat menuju kantin dengan langkah semangat.
***
Tara melangkahkan kakinya menuju meja guru di depan kelas. Sekelas memperhatikannya dengan pandangan takjub.
Bagaimana tidak? Gadis itu adalah siswa pertama yang dapat menyelesaikan 1 soal sulit Trigonometri dari Bu Desi.
"Bagus, Tarasha. Jawabannya benar," Ucapan Bu Desi bersamaan dengan bunyi bell yang menandakan waktunya pulang.
Tara seketika menghembuskan napas lega, mengetahui pekerjaannya benar.
Pandangan wanita paruh baya itu pun beralih ke siswa kelas X Mia 2.
"Baik, anak-anak. Jawaban dari soal Trigonometri tadi bisa kalian tanyakan kepada Tarasha. Ibu akhiri, Wassalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Jawab sekelas dengan semangat.
Beberapa teman Tara memenuhi meja-nya. Menanyakan jawaban dari soal yang diajukan Bu Desi.
"Tar, jawabannya 2√3 bukan, sih?" Tanya Sharah.
"Kalo gue, 2√2 malah. Jawabannya itu, bukan?" Imbuh yang lain, yang Tara tahu namanya Lutfia.
Timbul juga jawaban dari teman-teman Tara yang lain, sehingga membuat kerumunan di meja-nya semakin meriuh. Gadis itu segera mengambil alih situasi,
"Hampir bener kok jawaban kalian semua. Jawabannya 3√2. Nambah-nambahnya ada yang salah, mungkin." Jawab Tara.
"Oh, kayaknya bener deh kata lo, Tar. Salah yang bagian ini-nya gue!" Jawab Alzha senang.
Sedangkan Tara hanya tersenyum menanggapi. Perhatiannya teralihkan ke wajah-wajah di kerumunan yang di meja-nya.
Dia, gak ada ya?
Tara seharusnya bisa menyadari. Tak seharusnya menggantung harap kepada ciptaan Tuhan. Tak seharusnya menggantung harap kepada semesta.
Dan yang terpenting, tak seharusnya menggantung harap kepada laki-laki itu.
Gue tuh kenapa, sih? Kok masih bisa-bisanya mikirin Dodo. Dia aja belom tentu mikirin gue. Suka lucu deh.
Semesta memang kadang senang bercanda lewat kebetulan dari rangkaian skenario yang dibuat.
"Tar, gue duluan. Thanks banget." Ucap Oliv, menyadarkan Tara dari lamunannya.
"Gue juga, makasih banget, Tar." Ucap Rico dan disambung sekian ucapan terimakasih dari yang lain.
Tara tersenyum singkat,
"Siap, sama-sama."
Kerumunan itu meredup, lamat-lamat hilang. Tara berpikir sejenak,
Kok gitu segitu ngarep-nya gue kalo dia bakal dateng dan nanya ke gue! Sadar Tar, lo udah terlalu jauh.
Tara menghembusan napas tenang. Meyakinkan hati, semua akan baik-baik saja.
Pikirannya terbuyarkan oleh suara seseorang,
"Rame banget tadi. Males bedesakan gue. Gue mau nanya, Tar..."
***
Waduh duh duh. Kira-kira siapa, ya? Yang si itu bukan, sih? Terus stay di DD, ya!
Salam hangat,
Pacar Jungkook bities

KAMU SEDANG MEMBACA
Double Do
Teen FictionTuhan selalu punya cara tersendiri dalam menuliskan skenario hidup kita. Baik buruknya menurut pandangan kita, Tuhan lebih tahu itu. Tuhan tahu yang terbaik untuk kita. Entah apapun itu, aku selalu merasa bahagia atas takdirku dari Tuhan. Aku merasa...