Prelude: Encounter

36.5K 3.1K 1K
                                    

Desember 2014

"Ga, lo mau ikut gak?"

Ketika baru saja sampai di student center, suara seseorang langsung saja menyambut kehadiran saya.

Berdiri di ambang pintu, saya menatap sosok yang tengah duduk di sofa sambil ongkang-ongkang kaki malas.

"Ke mana, Bang?" tanya saya pada sosok itu.

Gilangga Raspati, kakak tingkat yang beda dua tahun di atas saya. Sebuah pertemuan yang lucu kalau saya menceritakan tentang Bang Gilang.

Hari kedua ospek jurusan adalah hari di mana saya dipertemukan kembali dengan Bang Gilang setelah hampir sepuluh tahun terpisah jarak. Tentu saja saya tidak langsung mengenali sosoknya karena terakhir kali saya melihat sosok itu, adalah ketika usia saya masih 9 tahun, kelas 4 Sekolah Dasar.

Saya berdiri di barisan paling depan sebagai ketua kelompok, dan secara kebetulan, saat itu Bang Gilang merupakan mentor kelompok saya. Awalnya, saya sedikit risih karena selama seharian itu dia terus-terusan memandangi saya dengan sorot penuh maksud. Saya sampai mengira yang iya-iya gara-gara pandangannya yang terlalu intens jika hanya sekadar ditujukan untuk adik tingkatnya yang berjenis kelamin laki-laki.

Hingga ketika sore menjelang dan acara ospek dibubarkan, Bang Gilang menghampiri saya kemudian melontarkan sebuah pertanyaan.

"Lo dulu pernah tinggal di Batununggal blok iv, ya?"

Pertanyaan to the point itu membuat saya menghentikan kegiatan membereskan barang-barang ke dalam tas, menoleh ke arahnya sedikit bingung, "Ya?"

"Dulu, waktu lo masih bocah, apa lo pernah tinggal di Bandung?"

"Pernah..."

"Sampe kelas berapa?"

"Kelas 4."

"NAH, BENER KAN!" waktu itu Bang Gilang langsung sumringah dan sontak menepuk-nepuk pundak saya sok akrab, dia kemudian mengulurkan tangan sambil menatap saya masih dengan cengiran, "Jadi lo bener Aga? Gue Gilang. Waktu SD kita pernah ngadu layang-layang bareng di lapang depan."

Dan memori beberapa tahun lalu pun sontak merayap kembali ke permukaan, membuat saya kembali mengingat sekelebat momen-momen yang pernah saya habiskan di Bandung hingga usia saya 9 tahun.

Sejak saat itu, saya kembali akrab dengan Bang Gilang. Dari yang asalnya hanya teman ngadu layangan bareng, menjadi adik tingkat dan kakak tingkat yang hobi nongkrong bareng.

Dan sapaan akrab seperti tadi yang baru saja dilontarkan Bang Gilang biasanya muncul ketika dia tengah berusaha mengajak saya untuk nongkrong di luar kampus.

Sebenarnya saya agak keberatan. Tapi pertemuan kami yang baru sekitar empat bulanan, membuat saya merasa tidak punya kapasitas untuk menolak. Berasa belum terlalu akrab untuk bisa bertindak seenaknya pada kakak tingkat—meskipun Bang Gilang pernah menjadi teman masa kecil saya.

"Ke rumah gue." jawab Bang Gilang sambil menegakkan tubuh dari posisinya yang tadi tengah ongkang-ongkang kaki, "Sama yang lain."

"Siapa aja?"

"Helmy, Arif sama Imam. Ajak temen lo sekalian kalo lo mau."

Oh, tentu saja teman-teman saya tidak akan mau. Mereka paling anti bergaul dengan kakak tingkat di usia maba ini. Teman-teman saya punya mental tempe goreng.

"Dalam rangka apa emang, Bang?"

"Kakak gue wisuda setelah enam tahun betah banget jadi mahasiswi abadi, terus nyokap ngadain acara syukuran. Dia seneng banget sampe nangis tadi pagi dan nyuruh gue ngundang temen-temen gue. Gue tetiba keinget lo, siapa tahu kan lo mau nostalgia ke rumah gue? Udah berapa tahun lo nggak pernah ke daerah sana lagi?"

LARASATI [Book #2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang