"Bulan Februari tahun depan? Jangan bilang pas ulang tahun lo!?"
Suara Tiara menggelegar membuat kami semua menoleh malas pada cewek itu. Untungnya keadaan Congo Gallery & Café malam ini tidak sepi karena hari ini hari Sabtu, sehingga suara lengkingannya yang cempreng itu agak teredam.
Untuk menyambut kepulangan saya, anak-anak membuat agenda makan bersama sebagai acara temu kangen karena akhirnya setelah satu setengah tahun di Balikpapan, saya pulang juga.
Siapa yang menduga, kafe yang direkomendasikan oleh Tiara justru kafe romantis di tengah hutan yang biasa digunakan sebagai tempat prewedding oleh pasangan-pasangan yang akan menikah.
Entah ide gila apa yang merasukkinya hingga membawa kami semua untuk makan di sini. Dan yang lebih gila lagi, harga satu porsi makanan dapat merogoh kocek yang tidak bersahabat untuk anak muda macam kami.
Anak muda? Ah, sepertinya saya sudah tidak bisa lagi menggunakan kata itu.
Meskipun tempatnya cukup unik, artistik dan futuristik, tetap saja saya kurang nyaman karena malam ini, saya justru yang harus membayar semua makanan orang-orang tidak tahu diri ini.
Apa memang begini peraturannya? Merayakan penyambutan kepulangan saya, tapi saya pula yang harus membayar?
"Emang ulang tahun gue," Regan terkekeh pelan sambil menyeruput minuman pesanannya, "Lihat aja di kalender, 14 Februari tahun depan hari Minggu, kan?"
"Lo yakin, Gan?" tanya Sekar sedikit sangsi, "Maksud gue, di antara kita semua, lo yang paling muda dan lo cowok. Bukannya gimana, lo sama Sarah mungkin memang saling cinta. Tapi, apa lo siap mengemban tanggung jawab sebagai suami kelak? Dan... lo bakal punya anak nanti, lo udah siap jadi Ayah?"
"Regan kan suka anak kecil, Kar." sela Rizal sambil mengunyah makanannya yang tak kunjung habis. Tentu saja, si sialan ini memesan dua porsi. Sengaja ingin menguras seluruh isi dompet saya, "Dia pasti siap jadi Bapak. Lagian, mereka udah bobol duluan. Siapa tahu kan pait-paitnya Sarah tekdung? Harus cepet-cepet nikah, jangan kawin melulu."
"Anjingggggg!"
Tiara dan Tirta memaki bersamaan, sedangkan Regan terlihat tidak terusik sama sekali dengan ucapan Rizal barusan.
Jujur, saya sedikit iri dengan keputusan Regan yang terkesan serius ini. Regan memang yang paling muda di antara kami, tapi dia justru yang berpikiran paling dewasa.
Lihat saja, Tirta dan Rizal yang paling tua bahkan masih sering main-main dengan hidup mereka.
Dalam jangka waktu dua tahun, Tirta sudah empat kali keluar dari perusahaan tempat dia bekerja dengan alasan kurang cocok dan tidak betah. Padahal, siapa sih, yang bakal langsung betah bila bekerja di tempat baru dengan orang-orang baru? Tidak ada. Semua butuh penyesuaian, dan penyesuaian diri tidak akan bisa dilakukan hanya dalam jangka waktu satu minggu atau dua minggu. Tidak juga sebulan atau dua bulan. Butuh berbulan bulan untuk terbiasa dengan lingkungan kantor yang baru.
Dan Rizal, di usianya yang tahun ini sudah menginjak dua puluh lima, dia masih asik bermain-main dengan wanita. Berkencan dengan satu wanita ke wanita lain. Tidak pernah kepikiran untuk berkomitmen atau sekali saja menjalin hubungan serius.
Tiara pun begitu, dia tidak pernah membicarakan masa depan. Yang dia bicarakan hanya masa sekarang dan tidak ada planning hidup 'nanti bagaimana'. Prinsip hidupnya selalu 'bagaimana nanti'. Terakhir kali ketika saya masih di Balikpapan, saya sempat menelfon Tiara untuk menanyakan kabar cewek itu, dan dia bercerita tentang patah hatinya yang dicampakkan selingkuh oleh pacarnya.
Sejak saat itu, dia selalu bilang pada saya, "Ga, gue kayaknya nggak akan nikah. Gue bakal stay kayak gini selamanya. Kerja, kerja, dan kerja. Cowok? Gue nggak butuh! Mulai sekarang gue nggak akan serius lagi sama cowok. Gue bisa kencan sama siapa aja tanpa perlu bawa perasaan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
LARASATI [Book #2]
General Fiction(COMPLETED) Dalam kisah wayang Jawa, nama Larasati dikenal sebagai salah satu istri Arjuna dari jumlah keseluruhan empat puluh satu, dan putri dari Harya Prabu Rukma. Dalam hidup saya, Larasati punya kisah tersendiri. Layaknya tokoh Larasati dalam...