We either make ourselves miserable

10.5K 1.9K 1.9K
                                    


LARAS

Saya tahu, satu tahun bukanlah waktu yang singkat.

Saya sudah melewati banyak hal sampai bisa di titik ini, dan saya yakin saya sudah melupakan segala sesuatu yang terjadi di masa lalu. Setidaknya, saya sudah melewati proses bersedih dan menangis, hingga yang tersisa sekarang hanyalah puing-puingnya saja.

Tapi, kenapa ya, meski sudah hampir setahun, kemudian kali ini akhirnya saya mencoba untuk pergi dengan lelaki lain, semuanya masih saja terasa salah.

Padahal saya yakin, saya sudah lebih dari siap untuk mencoba dengan yang lain, meski prioritas saya sekarang jelas bukanlah berkencan dengan cowok baru.

Perjalanan menuju hotel tempat diselenggarakannya pernikahan Kak Sarah berlangsung tenang. Akmal menjalankan mobilnya—yang entah milik siapa karena Akmal biasanya membawa motor ke kantor—dengan tidak terburu-buru dan sesekali melempar candaan yang membuat saya mau tak mau terkekeh.

Setapak Sriwedari milik Maliq & D'Essentials yang mengalun melalui radio membuat saya sesekali ikut bersenandung. Dan secara mengejutkan, Akmal juga hafal lagunya. Padahal saya pikir Akmal tipikal cowok yang mendengar lagu-lagu Seringai dan band rock lainnya.

Meski ingin memperbincangkan tentang selera musik, namun saya tidak bisa melakukannya. Karena sial, saya benar-benar gugup dan tidak tenang. Bahkan sedaritadi Akmal berusaha mencari topik pun saya hanya menanggapinya sekilas.

Padahal kemarin saya tidak begitu memikirkannya, namun ketika pagi tadi saya menyiapkan baju yang akan dipakai ke resepsi pernikahan Kak Sarah, saya tiba-tiba saja panik memikirkan kalau kemungkinan saya bertemu dengan Sagara akan sangat besar.

Maksudnya, saya tahu kalau cepat atau lambat saya pasti akan bertemu dengan Sagara di pernikahan Kak Sarah dan Bang Regan, tapi kenapa setelah semakin dekat waktunya, saya malah baru sadar bahwa saya masih saja tidak siap menyambut kemungkinan tersebut.

Begitu Akmal memarkirkan mobilnya di parkiran, kami berdua berjalan berdampingan menuju ke dalam gedung.

Karena waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang, maka akad pasti sudah selesai. Tadinya saya ingin datang ketika akad, namun memikirkan kalau hal tersebut hanya akan membuat saya terlalu lama berada di tempat yang sama dengan Sagara, saya tiba-tiba mual dan tidak siap. Maka dari itu saya bilang pada Akmal supaya kami datang tidak terlalu pagi.

Setelah mengisi buku tamu dan masuk ke dalam gedung, saya dapat mendengar alunan musik khas pernikahan menggema di seluruh gedung.

"Ini tuh undangan temen SMA lo apa gimana, sih?"

Pertanyaan Akmal membuat saya mengalihkan tatap ke arahnya, "Bukan. Ini undangannya kakak kelas gue waktu SMP."

"Wah, jauh juga. Gue pikir temen deket."

"Deket kok." jawab saya sambil mengedarkan pandangan menuju pelaminan, "Waktu SMP dia sering bantuin gue ngurus ekskul. Bahkan setelah dia lulus, dia masih sering nengokin gue. Terakhir lost con waktu Kak Sarah kuliah aja, udah jarang banget ketemu semenjak itu."

Akmal kemudian mengangguk-ngangguk singkat. Saya segera menarik Akmal ke pelaminan begitu melihat orang yang mengantri untuk bersalaman sudah tidak terlalu banyak.

Sejauh ini aman. Saya belum melihat teman-teman Sagara dan Sagaranya sendiri. Mungkin setelah makan saya harus segera angkat kaki dari sini. Entah kenapa, firasat saya mengatakan, jika saya berlama-lama di sini saya hanya akan semakin terjebak dengan masa lalu.

Astaga, ini memang berlebihan. Tapi jujur saja, saya masih parno sejak bertemu dengan Sagara bulan lalu di Gramedia. Rasanya saya hampir kencing di celana.

LARASATI [Book #2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang