What they had from the start

13.6K 2.1K 1K
                                    

Saya rasanya ingin membenturkan kepala saya sendiri melihat bagaimana Tiara menyapa Laras dengan cara yang berlebihan. Padahal jelas sekali Tiara dan Laras tidak pernah sedekat itu. Mereka hanya saling mengenal lewat saya, tidak pernah benar-benar menjadi teman.

Saya hanya berdiri di tempat saya, menyaksikan Tiara yang memeluk Laras sekilas, dengan Laras yang memasang tampang setengah bingung dan setengah kaget.

"Ngapan di sini???" pertanyaan basa-basi Tiara terdengar sangat omong kosong. Memangnya apalagi yang dilakukan Laras di toko buku kalau bukan membeli buku?

Ah, dipikir-pikir Gramedia Merdeka memang seringkali dijadikan sebagai tempat me time oleh Laras.

"Oh, itu... jalan-jalan aja, sih, Kak."

Mengenal Laras selama hampir enam tahun membuat saya menyadari bahwa dari cara Laras bicara saat ini, dia pasti merasa tertekan dan tidak nyaman. Apalagi mungkin setelah melihat keberadaan saya di depannya.

Sudah hampir sebulan sejak pertemuan terakhir kami di Southbank malam itu yang terkesan sekejap mata, kini kami justru kembali bertemu yang anehnya kondisi saya lagi-lagi tengah bersama Tiara.

Karena kondisi cewek itu yang tempo hari sudah drunk parah, Tiara pasti tidak ingat kalau dia sempat bertemu dengan Laras dan Bang Gilang. Setelah keesokan harinya dia menghubungi saya pun, Tiara hanya bilang kalau dia seperti akan mati kapan saja kemudian melapor kalau semalam dia bermimpi bertemu dengan Laras. Dia tidak tahu saja itu nyata, tapi saya tidak mau repot-repot menjelaskan perihal tersebut pada cewek itu. Dia pasti akan bereaksi berlebihan.

"Ohhhh, jalan sendiri aja?"

Pertanyaan dari Tiara entah kenapa membuat saya ikutan penasaran dengan jawaban Laras, meski saya hampir yakin seratus persen kalau Laras pasti tengah pergi sendiri. Dia selalu suka pergi-pergian sendiri untuk sekadar healing.

"Iya, Kak. Sendiri."

Saya mengerjap pelan ketika Laras menyunggingkan senyuman tipis.

"Mau join sama kita gak? Kita rencananya mau makan di food court BEC loh, ditraktir Aga."

Saya mendelik menatap Tiara.

Kapan? Saya tidak ingat kami berencana untuk makan apalagi ditraktir saya.

Ah, cewek ini benar-benar. Ingin saya hanyutkan saja rasanya.

"Nggak deh, Kak. Aku masih ada yang mau dicari, dan kayaknya bakal lama banget."

Jawaban Laras membuat Tiara menghembuskan napas putus asa. Dia pasti baru sadar kalau bicara dengan Laras sangatlah sulit. Sama halnya seperti bagaimana saya mencoba mendekati Laras beberapa tahun yang lalu-apalagi saya bukan orang yang pandai merangkai kata.

"Pasti gara-gara si Aga, ya? Dia berengsek banget gak sih Ras pas putus?"

"RA!" saya bergegas melangkah mendekati Tiara, menarik sedikit bahunya mengisyaratkan dia untuk berhenti bicara omong kosong.

Dia tidak tahu bagaimana Laras seringkali tidak nyaman bicara dengan orang baru, apalagi kepribadian Tiara dan Laras yang cenderung jomplang. Pendekatan yang agresif justru akan membuat Laras merasa rendah diri, dan itu benar-benar gawat.

"Duh, apa, sih??? Gue kan cuman nanya!" gerutu cewek berambut sepinggang itu dengan wajah kesal.

"Tunggu gue di mobil." kata saya sambil menyimpan kunci mobil di telapak tangannya.

"Loh, gue kan belum beli-"

"Gue tahu tujuan lo ke sini bukan buat itu. Lo cuman mau ngomong sama gue perihal tadi, kan?"

LARASATI [Book #2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang