Prolog

61 9 0
                                    

Karena mendoakan adalah mencintai yang paling rahasia.
-Arafarizka-

Karena, namamu selalu menjadi pintaku dalam sujudku.
-Rakaraja-

———

Satu windu sudah berlalu. Awan cerah menjadi kelabu. Dan hatiku masih berkata kamu.

Ketika kamu memintaku untuk melupakanmu, maaf, aku tidak bisa melakukannya. Dan disitulah titik terlemahku.

Aku masih disini. Berharap keajaiban datang dan aku bisa kembali memelukmu. Mengecup keningmu. Menatap kornea cokelatmu. Dan mengusap surai gelapmu. Aku merindukanmu, Malaikat Kecil.

Namun, itu semua hanya angan yang terlintas dibenakku. Kamu tidak akan pernah kembali. Dan hatiku masih berharap semu.

Bagi sebagian orang, Cinta memang indah. Namun, mengapa mencintaimu rasanya sesakit ini?

Tidak ada suara jangkrik malam ini. Aku membuka jendela kamarku berharap dia akan datang. Ah, diriku masih berharap pada keajaiban konyol itu.

Aku membuka buku diary cokelat tua yang sudah lusuh dan menguning. Aku membaca setiap tulisan tanganmu ini dengan antusias, dengan harap bisa menepis sedikit rasa rindu ini, ya sedikit.

For My Guardian

Namanya Rakaraja. Sahabat kecilku. Dia memiliki kedua kornea hitam pekat yang mampu memikat wanita, termasuk aku.

Aku sangat mencintainya. Lebih dari diriku sendiri. Ia selalu ada untukku. Dimana pun aku berada. Kecuali di toilet dan kamarku, aku hanya bercanda!

Semuanya berjalan baik-baik saja setelah aku sadar bahwa hanya aku yang mencintainya. Dan rasanya sangat sakit ketika ia membawa gadisnya yang ternyata sahabatku sendiri. Ia mengenalkannya kepadaku.

Hari itu, diriku penuh kebohongan. Senyumku palsu, tawaku palsu, dan saat aku berkata 'aku senang kalian bisa bersama' merupakan kebohongan besar.

Aku berusaha memahaminya, walau awalnya sulit. Dan hasilnya aku bisa bertahan dengan kebohonganku selama dua tahun. Hanya dua tahun.

Tahun ketiga, adalah tahun awal masuk SMA. Aku dan Raka memilih masuk SMA bersama.

Tahun itu adalah tahun terburuk untukku dan Raka. Hari itu, aku pulang bersamanya. Seperti biasa, dia menceritakan kepadaku bagaimana cerewetnya kekasihnya dan aku selalu menanggapinya dengan senyum palsu.

Saat itu, kami mendapati tangan Ayah Raka yang melayang hendak menampar pipi Ibu Raka. Seketika, Raka melindungi ibunya dan alhasil tangan Ayahnya mendarat tepat di pipinya.

"Apa ini? Kenapa halamannya hilang?"


D e r a j a t  1 8 0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang