7. Andai

9 3 0
                                    

"La Puerta itu ..." Aksan menjeda kalimatnya saat tanganku mengguncang bahunya untuk menyuruhnya berhenti.

"Hah? Restoran? Lo mau makan disini?" Tanyanya, namun tetap mengikuti langkahku.

"Nggak."

"Ooh lo take away?" Tanyanya lagi.

Aku menatapnya sejenak. "Aku kerja."

Kedua kornea hazel itu membulat. "Apa?" Ia menambah mimik mulut terbuka di wajahnya.

Aku gemas melihatnya. Ku kira dia akan mengatakan hal lain, seperti lo kerja apaan atau udah berapa lama.

"Iyaaa Aksan. Aku kerja disini."

Oh, aku melupakannya. Aksan sama sekali tidak tahu tentang latar belakangku.

"Hah? Lo kok nggak pernah cerita? Sejak kapan?"

Aku tidak tahan dengan posisi berdiri seperti ini. Untuk itu, aku menarik tangannya pelan ke arah dua kursi di area yang terbuka.

"Sejak ..."

"ARA?!" Sebuah suara mengagetkanku dan juga Aksan. Kami kontan menoleh, dan mendapati gadis dengan senyum lebarnya yang menampilkan dua lesung pipinya yang sedang berjalan ke arah kami.

"Katanya mau ke rumah sakit? Kok balik lagi?" Katanya, bersamaan dengan bokongnya yang menghempas ke kursi.

"Ah, iya. Nggak jadi, La."

"Kenapa?" Tanyanya lagi sambil membenarkan posisi duduknya.

"Aku pikir lebih baik besok aja. Aku agak takut kalo ikut shift malam."

Setelah itu, ia mengangguk-angguk.

"Iya bener tuh! Denger-denger, Fely gak masuk karena mual-mual terus. Denger-denget juga, sebelum itu, dia satu-satunya pelayan cewek kemarin malem. Lo tahu gak Ra ceritanya?" Ujarnya dengan nada berbisik.

"Fely? Felicia maksud kamu?" Aku mulai terhanyut menikmati cerita Nala.

"Iyaaaa Araaa. Siapa lagi pelayan yang berani pake baju minim? Cuma dia kan? Seragam dimodif jadi ngetat, rok selutut dipotong sama dia jadi sepaha. Cowok mana cobaaak yang nolak lenje?!" Kata gadis itu dengan menggebu-gebu.

Sebelum aku sempat membalas ucapannya, lelaki disampingku angkat suara lebih dulu.

"Ehm. Ra, gue pulang duluan ya." Kata Aksan bersiap untuk berdiri.

Belum sempat lagi mulutku menyahut, sudah disalip gadis dihadapanku.

"Eeeeeh jangaaaan! Duhh, sori sori gue keasikan sampe lupa ada lo. Hehe, maap yak."

Benar juga. Aku sampai tidak menyadari ada satu kuman lain.

"Satu jam lagi aku pulang kok, San. Aku nunggu Wili selesai." Sanggahku sebelum Aksan benar-benar pulang.

"Hm. Yaudah, tapi jangan gibah mulu. Dosa." Jawabnya sambil kembali duduk, dengan agak malas.

"Yeuuu. Iya-iya bang! Ehhh, be-te-we lo ganteng juga. Nama lo siapa?"

Wah, pede sekali si Nala ini.

Melihat Aksan tidak merespons, aku segera menjawabnya. Bukan apa-apa, Nala sangat sensitif. Ia bisa saja marah jika pertanyaannya tidak dijawab.

"Aksan, La. Dia emang gitu. Suka  badmood gak jelas. Kayak cewek." Jawabku yang langsung mendapat pelototan gratis dari Aksan.

"Paan!" Serunya tak suka.

"Sombong amat jadi laki! Untung lo ganteng, kalo buluk dekil item udah gue tenggelemin di akuarium lo!" Balas Nala.

Aku hanya bisa menahan tawaku saat melihat Aksan yang hendak membalas ucapan Nala namun segera dipotong gadis itu. Reaksi Aksan sangat mengemis untuk ditertawakan.

D e r a j a t  1 8 0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang