3. Garis Terdepan

18 3 0
                                    

Aku meninggalkan Raka dan Raisya berdua. Aku memilih untuk kembali ke kelas. Apa Bu Riska akan memarahiku? Dan apa yang akan ku katakan padanya tentang Raka?

Sepi. Tidak ada satupun temanku di kelas. Bahkan, aku bisa mendengar Fiersa mendendangkan Garis Terdepannya.

Suara Fiersa makin mengeras. Nadanya membuat kepalaku pening. Dan, akhirnya aku tersadar. Kisahku lebih pahit dari Garis Terdepan. Fiersa masih bisa berada disisi orang yang disayanginya ketika ia menangis, membutuhkan sandarannya, dan mendengar keluh kesahnya. Sedangkan aku? Kisahku lebih tepat dipadukan dengan Halu. Ya, semua yang dikatakan Garis Terdepan tak bisa ku raih. Jangankan menjadi sandarannya. Untuk mendekatinya saja, aku tak sanggup, lawanku terlalu berat.

Dan jika aku memilih antara disetiakan atau diprioritaskan, aku lebih memilih untuk tidur, karena semua itu cuma mimpi.

Skizofrenia? Tidak, aku tidak separah itu. Aku hanya menyukai mimpiku yang menceritakan tentang aku yang begitu menikmati senja bersama orang tercinta. Meski aku tahu, mimpiku akan selamanya menjadi mimpi, aku berjanji, tidak akan pernah melepaskan mimpi-mimpi itu. Karena merekalah, aku bisa bertahan didepannya tanpa meneteskan air mata, selama bertahun-tahun.

Katakan aku Friendzone. Apa ada yang memiliki kisah sepertiku? Aku harap akhir kisahmu tidak menciptakan air mata, semoga.

Ah, aku lupa. Aku tidak pernah merasakan tanganku ditarik dan dibawa ke taman. Aku juga tidak pernah merasakan betapa senangnya senyum lebar Raka yang diciptakan olehku. Sudah kubilang bukan? Aku menyukai mimpi-mimpiku tentangnya. Ya, ini halusinasiku saja.

"Ara?" Bahuku tersentak. Sebuah tangan bertengger disana secara tiba-tiba.

"Ngapain disini?" Tanyanya. Ah, rupanya tangan itu milik Aksan, kakak kelas XII IPS 3. Apa yang dilakukan pria itu disini?

"Lah? Ini kan kelas gue, Kak. Lo yang ngapain." Balasku. Lagipula kelasnya sedang olahraga di lapangan. Dan, lelaki didepanku ini sedang berkeringat dengan kaus olahraganya.

"Kangen."

"Hah? Kangen?" Ulangku memastikan.

"Kangen kelas ini. Kelas ini emang bukan kelas dulu gue."

"Kenapa?"

"Dulu gue kelas X-4." Dia menjeda kalimatnya. Well, ada yang mau cerita disini.

"Ini kelas favorit gue. Dari dulu sampe gue kelas 12, kelas ini tetep jadi favorit gue."

"Kenapa?" Lagi-lagi aku bertanya.

"Dulu, ada anak yang godain gue. Dan dia ada di kelas ini."

"Haha, boong aja lo. Palingan lo yang suka sama dia, bukan dia yang godain lo." Aku membenarkan.

"Yaaa... kaya gitu lah. Iya iya. Gue suka sama nih cewek. Bahkan sampe sekarang. Terus Ra, sebagai cowo ganteng dan gentle, gue tembak tuh. Tembaknya keren lagi Ra, di lapangan gue nyatain cinta gue."

"Terus terus?" Perlahan aku sadar, lelaki didepanku ini, Aksan berhasil mengalihkan pikiranku dari Raka dan Raisya yang tak kunjung kembali.

"Duh Ra, pengen mengeluarkan air mata daku."

"Njir, most wanted kok alay si." Cibirku. Si Aksan ini cuma modal tampang aja. Didepan adik-adik kelas dan guru, jaim dan cool nya dipertahanin. Giliran didepan gengnya dan aku, sosok defaultnya keluar.

"Iri aje lu jingan."

"Haha. Udah udah. Next kang."

"Akang biji kau!"

"Kalem bor."

"Anaknye siape si lo? Kagak ada akhlaknye amat jadi cewek."

"Anaknya Pak Bara." Balasku sambil cekikikan.

D e r a j a t  1 8 0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang