Aku memutuskan untuk kembali ke kelas, mendengarkan musik, atau membaca buku Biologi. Setidaknya itu lebih baik daripada menyiksa diri sendiri.
Aku menghempaskan pantatku bukan di tempat yang seharusnya. Ini memang bukan kursiku, tapi disini sangat nyaman!
Angin perlahan menerpa kulitku lewat jendela yang berada tepat diatasku. Benar-benar nyaman. Kini suasana hatiku tidak sepanas tadi. Dan kini aku tahu, apa alasan Lilin selalu tertidur saat pelajaran Sejarah dan Bahasa Indonesia.
Belum ada satu menit mataku terpejam, bahuku tersentak.
"RA..! ARA, BANGUN..!"
Aku mendapati gadis berkacamata tebal dengan tahi lalat di pelipisnya. Poninya acak-acakan. Ah, aku baru menyadarinya. Dia tuan kursi yang ku singgahi ini.
"Kenapa Lin?" Aku segera berdiri dan menjauhi kursinya.
"Plis Ra, bantu gue. Plis." Ucapnya sambil terus mengatur pernapasannya.
"Bantu apa?"
Setelah ia berhasil mengendalilan napasnya, ia menjelaskan semuanya. Aku mendengarnya dengan saksama.
"Tapi, kalo di Bandung, gue gak janji ya." Terangku.
"Yah, Ra. Plis lah. Usahain."
"Gak ..."
"Plis Ra ... gue gak tahu harus minta tolong sama siapa lagi. Harapan gue cuma di elo. Plis ..."
"Ck! Yaudah iya gue usahain!"
"Makasiiiiiih Araaaaaa! Muach muach peluk sini...!"
Aku spontan menghindar.
"Udah ah, pergi sono lo!"
"Hehe. Yaudah gue mau ngomong itu aja." Lilin menampilkan cengiran khasnya. "Oh iya! Kalo lo mau duduk di tempat gue, duduk aja. Tapi abis itu jangan lupa lo tiupin lagi biar gak ada sensasi anget pas gue duduk." Setelah itu dia benar-benar keluar.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala dan mencari kursi lain yang memiliki sensasi "dingin". Mataku terpaku saat aku mendapati secarik kertas pink yang terjatuh tepat di bawah kursi milik laki-laki favoritku.
Aku mengambilnya. Dan aku mulai membacanya.
Oke, aku sadar ini tidak baik. Aku berusaha untuk tidak membacanya, aku kembali menaruhnya di tempat semula. Namun rasa penasaran mulai menguasai diriku.
Bagaimana jika isinya penting? Atau rahasia yang harus aku ketahui? Jawabannya hanya satu.
Aku kembali mengambil kertas itu dan mulai membacanya. Kali ini aku benar-benar teliti dan hati-hati disetiap kata yang tertera, aku tidak ingin satu kata pun terlewat oleh netraku.
Kalimat pertama aku masih bisa membacanya dengan jelas. Hingga, setiap paragraf aku dapat menangkap tiap huruf yang digoreskan.
Pandanganku mulai memburam.
The Girl.
She has two dark eyes and matching hair. She's like my mum, a strong and attractive woman. I don't know what it means if my feelings are not calm when with her.
Happy birthday my girl! I wish you all the best!
Regards♡
RakarajaThe girl? Seperti ibunya? Memiliki dua mata gelap dan rambut yang senada? Tidak. Ini tentu bukan aku. Aku tidak berulangtahun di bulan ini. Tunggu, memiliki dua mata gelap dan rambut yang senada?
"Ra?"
Bagai disengat listrik. Tubuhku kaku seketika. Laki-laki itu mendekat ke arahku. Netranya membulat saat melihat kertas pink miliknya berada ditanganku.
"Lo?" Laki-laki itu. Ia merebut kertas yang sedang kupegang erat dan kini, tatapan tajamnya beralih menelusuri ke kedua mata cokelatku.
Aku tak bisa menatapnya seperti ini. Aku menunduk. Meratapi kebodohanku sendiri sambil mengetuk-ketukkan sepatu.
"Lo tahu? Apa yang lebih buruk dari sahabat yang berkhianat? Mengobrak abrik privasi sahabatnya sendiri! Dan itu yang lo lakuin sekarang!" Bentaknya keras.
Aku menunduk semakin dalam. Aku belum pernah melihat Raka semarah ini, dan itu karenaku.
"Ma-maaf." Cicitku.
Aku tak tahu apa yang disembunyikannya dariku. Apa gadis itu berkaitan erat denganku?
"Lo gak berhak ikut campur urusan gue, Ra! Sekali lagi lo kayak gini." Laki-laki itu menjeda kalimatnya. "Gue gak mau percaya sama lo lagi." Setelah itu ia berlalu meninggalkanku yang kini sudah dibanjiri air mata.
Mengapa? Mengapa ia bisa semarah itu kepadaku? Jika ia melarangku untuk mengetahui hidupnya, disebut apakah hubunganku dengannya selama belasan tahun?
__ __ __
Raka's POV
Aku tak habis pikir. Gadis yang selama ini ku anggap keluargaku sendiri berani mengganggu privasiku? Apa yang berada dipikirannya?
Aku melangkahkan kakiku cepat. Panas dan emosi bergerumul di hatiku. Aku berniat mendinginkannya. Alih-alih menuju ke musala, bahuku dicekal dari belakang. Siapa lagi ini.
"Ara. Lo apain dia?" Tanyanya tanpa ekspresi. Laki-laki ini lagi. Dia sangat menyebalkan. Mengapa gadis itu mau berteman dengannya?
"Kenapa?" Tanyaku balik.
"Gue tanya lo apain dia." Tanyanya dengan penekanan disetiap kata.
"Gak." Jawabku cepat.
"Jawab yang bener nji*g!"
Apa-apaan ini?! Berani-beraninya ia mencekal kerahku. Aku segera menepisnya kasar.
"Lo apain dia bangs*t?!"
Orang-orang mengerumuni kami. Sial, aku sangat membenci laki-laki ini!
"Banci lo! Bisanya nangisin cewek doang!"
Aku terpaku sesaat. Tidak. Gadis itu tidak menangis. Dia tidak pernah menangis. Dia tidak menangis tadi. Laki-laki ini. Kata-katanya penuh kebohongan!
"Kalo lo cowok, lawan gue nji*g!"
Semua orang bersorak. Bertepuk tangan. Menertawakan nasibku saat ini.
Belum sempat aku mengelak, aku merasakan sudut bibirku hangat, dan agak perih. Laki-laki ini! Tidak tahu malu!
"Bangs*t lo! Ara gak nangis! Dia gak pernah nangis dan gak akan pernah! Apalagi dia nangis gara-gara gue! Jangan sok tahu deh anji*g..!" Aku segera memukul area hidungnya. Satu detik kemudian, laki-laki itu mengeluarkan darah dibagian hidungnya.
"Huh, gak pernah dan gak akan pernah nangis?! Lo buta, hah?! Selama ini lo kemana anji*g?! LO YANG SOK TAHU BANGS*T!!!" Setelah menampilkan senyum smirk nya, laki-laki itu berhasil membuatku tersungkur.
Kepalaku sangat sakit. Pandanganku mulai memburam. Namun sebelum semuanya gelap, aku sempat menghindar dari tendangan Aksan. Namun, semua itu tidak berguna jika dibandingkan tenaganya. Dia menekan area perutku dan duduk diatasnya. Ia memukul wajahku tanpa ampun.
Aku merasakan pandanganku benar-benar kabur. Semuanya terlihat buram. Dan untuk terakhir kalinya, aku mendengar suara gadis yang baru saja aku maki, gadis itu. Ia berteriak sambil terisak.
"Udah! U...udah, Aksan...! Gue...hiks..gue gak papa!"
Benar apa yang dikatakan Aksan. Gadis itu, Ara, ia menangis. Dan ia baru saja membelaku. Dengan isakan yang terselip. Maaf. Maafkan aku, Ara.
Setelah itu, aku merasakan benar-benar gelap. Dan aku tidak lagi merasakan apa-apa.
TO BE CONTINUED.
![](https://img.wattpad.com/cover/216814551-288-k232617.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
D e r a j a t 1 8 0
Teen Fiction"Kamu tahu titik terendah Bumi?" "Hm ... sekitar 5.000 kilometer?" "Bahkan lebih dari 10.000 kilometer. Dan kamu tahu siapa pemilik titik serendah itu?" "Semua orang tahu jawabannya. Palung Mariana, bukan?" Pemilik kedua kornea hitam pekat itu menga...