1. Kembali?

53 8 2
                                    


"Apa ini? Kenapa halamannya hilang?" aku membolak-balikkan diary tersebut. Namun aku hanya mendapati lembaran tentang diriku saja. Padahal, aku sangat yakin diary ini juga berisi tentang hal lain.

Aku sungguh tidak bisa mempercayai ini. Satu-satunya kenangan darinya, hilang. Aku berusaha menenangkan diri dan mencari halaman lain diary itu. Tidak menutup kemungkinan bukan jika ternyata beberapa halamannya berserakan di kolong ranjang atau di lemari pribadiku.

Sudah pukul 24.00 dan kini aku frustasi. Lembaran buku itu bagai diculik. Namun, ganjilnya aku tidak menemukan bekas sobekan atau bekas goresan di buku itu. Mungkin saja si penculik sangat pintar sehingga bisa mengambil lembaran buku itu tanpa meninggalkan bekas sama sekali. Entahlah.

Aku berusaha mengatakan pada diriku sendiri lembaran buku itu tidak hilang dan masih ada disekitar sini. Aku akan mencarinya besok saat hari terang. Untuk sekarang, aku akan mencoba memejamkan mataku dan terbang ke alam mimpi.

———

Aku terbangun dengan wajah kusut. Apa ini? Aku baru saja tidur bukan? Aku membuka layar ponselku dan mendapati hari sudah pagi, sudah pukul 5.45 .

Dengan segera, aku melompat. Aku teringat akan sesuatu. Aku kembali mengobrak abrik kamarku dan mendapatkan kembali lembaran diary yang semalam 'hilang'.

Aku bersyukur itu hanya mimpi. Jika itu benar terjadi, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri.

Aku tidak segera mandi. Diriku terlalu malas untuk memulai sesuatu. Jadilah aku duduk di kusen jendela dan mendekap erat buku diary cokelat tua ini.

BRAAAAK...!

"Rakaaaaa!!!" jerit seseorang. Tepat saat itu pula, diary yang kudekap meluncur ke tanah.

"Apaansi kak?!" teriakku kesal. Aku menghampiri setan yang berhasil membuatku terkejut seperempat mati.

"Udah sebelas kali gue teriakin depan pintu tapi lo ga nyahut-nyahut! Bayangin! Sebelas kali lo berhasil bikin pita suara gue berubah bentuk!" teriaknya tak mau kalah.

"Heh nenek moyang! Lo juga bikin buku gue jatoh ke bawah nyet!"

Setan itu sama sekali tidak menggubrisku. Dia malah berkacak pinggang dan melengos pergi.

"We! Malah ngeloyor aja!" aku menarik pundaknya dan berhasil membuatnya berbalik.

"Gue cuma mau ngasi tau adek gue baru pulang dari Belanda dan dia sakit hati karna nunggu lama." setelah itu ia benar-benar pergi.

Ngomong apaansi ni Setan? Mama sama Papa cuma punya dua anak. Tapi, setan itu terus memvonis Ara sebagai adiknya. Sampai sekarang. Sampai sekarang. Ara? Ehhh iya anjirrr! Eh astagfirullah! Yampun! Ara? Ara beneran dateng?

Aku segera berlari menemui 'adik' setan gila tadi. Kulihat dari tangga, di ruang tamu duduk Mama, Papa, dan disebelah Setan ada gadis yang selama ini masih menduduki posisi menjadi gadis favoritku. Ara Farizka.

Tak kusangka, air mataku mengalir. Aku segera menghambur ke arahnya dan memeluknya erat. Aku tak ingin dia pergi lagi. Aku tak ingin dia meninggalkanku lagi. Aku ingin dia selalu ada disini, disisiku.

"Heh babi aer! Kasian itu adek gueee...!" setan itu menghempaskan kedua tanganku yang terus mendekap tubuh mungil Ara.

"Sakit setan!" kesalku.

Mama dan Papa malah tertawa. Papa menimpali. "Liat aja tuh Ra. Udah pada gede tapi kelakuan masih kayak bocah."

Aku melirik sekilas gadis dihadapanku ini melengkungkan senyumnya. Senyum yang aku rindukan selama satu windu. Senyum penghipnotisnya. Dan senyum itu tidak sebahagia dulu. Senyumnya agak berubah.

"Ra? Kapan sampe?" tanyaku hangat. Aku mempersilakan Ara untuk kembali duduk.

"Jam 5." jawabnya, plus senyum manisnya, dan kali ini lebih lebar.

Aku langsung memelotot ke arah setan yang sedang mengunyah kacang atom. Tampangnya sama sekali tidak ada rasa bersalah. Lihat saja. Jika dia membangunkanku lebih awal, aku pasti bisa menemui Ara lebih cepat.

"Apa?!" ketusnya.

Aku tidak menanggapinya. "Maap ya harus nunggu lama." pintaku.

"Iya ngga papa."

"Ara dari bandara langsung ke rumah kita, Bang. Dia belum sempet ke rumahnya sendiri." kata Mama.

"Iya Bang. Ara sampe di Jakarta jam 4.50 an. Terus Papa dapet kabar dari Pak Harno kalau Ara udah nyampe. Abis itu, Mang Abik langsung Papa suruh meluncur buat jemput Ara kesini" sahut Papa.

Bahkan, Ara rela menungguku hingga bermenit-menit. Tetapi...

"Ra, lo kemana aja?" tanyaku lirih. Aku kembali mengingat mimpi semalam. Tuhan bahkan sangat baik, Ia mengirimkan sinyal lewat bunga tidur kalau gadis favoritku ini akan mendatangiku.

Aku langsung melihatnya. Wajah Ara yang seratus delapan puluh derajat berubah. Sedetik yang lalu, senyum manis masih terpatri di wajah cantiknya, kini aku menyesal. Telah membuatnya kembali murung.

"Aku ... harus pergi."

Apa?! Bahkan dia baru saja datang. Aku tak bisa melepasnya lagi. Aku sudah sangat lelah dengan permainannya selama delapan tahun. Bayangkan! Delapan tahun penuh aku menunggunya. Dan saat ia datang, ia meminta untuk pergi.

"Apa yang barusan lo omongin Ra?!" desisku.

Ara menggelengkan kepalanya. Dan aku melihat dua bulir air mata jatuh ke pipinya.

Saat aku ingin menghampirinya. Tiba-tiba gadis itu hilang. Entah kemana. Aku memutar badanku dan tidak mendapati keluargaku. Aku bahkan tidak mendapati diriku sendiri di ruang tamu. Disini, aku berada di dimensi gelap yang hanya ada diriku seorang. Kemanapun aku menoleh, disitu aku mendapati bayanganku sendiri. Tuhan ... apa yang sedang kau tunjukkan?

BRUUUK...!

Aku merasakan nyeri di sekujur tubuhku. Aku terhempas ke tanah hitam yang berhasil membuat tubuhku gelap pekat. Siapa yang mendorongku?

"Jangan takut, Raka." suara itu. Begitu familiar, meski delapan tahun berlalu aku tak mendengar suara lembutnya, aku tetap mengenalinya. Benarkah dia?

"Ara?"

"Berjanjilah kamu gak akan takut." katanya lagi.

"Untuk?" dahiku terkernyit.

"Berjanjilah kamu bakal selalu tegar buat menghadapi kenyataan ... kenyataan bahwa aku akan pergi ... untuk yang terakhir kalinya dan ... aku gak kan kembali." ujarnya terbata-bata.

Bagai disambar petir. Kakiku lemas tidak berdaya. Aku merasa kedua kakiku tak lagi mampu menopang berat tubuhku.

"Ta ... tapi ... Ara ..." aku merasakannya. Aku merasakan mataku memburam dan pipiku basah.

HAI TAYO... HAI TAYO ....
DIA BUS KECIL RAMAH ....

Aku melompat terkejut. Aku mendapati diriku diatas ranjang hijau army Hulk, ranjangku. Dan aku segera mengecek ponselku. Jam 5.45 . Baru saja aku bermimpi? Dua kali? Apa lagi ini? Tuhaaaaan ...!

———

TO BE CONTINUED

PENTING!

Buat pembaca "Derajat 180" jangan bingung kalo part selanjutnya nggak nerusin cerita di part ini. Maksudnya? Maksudnya aku pilih alur Campuran. Tau kan??? Itu loh... Cerita yang alurnya ada Maju, Mundur, Maju Mundur. Wkwk iya kan? Part selanjutnya nanti ceritain Ara sama Raka pas lagi masa-masa SMA atau mungkin sesekali ada part flashback :) Mungkin ya tapi.

Terus, kalo ada yang bilang "ihh apaansi partnya dikit banget!" Percayalah kawand, aku sampe makan dua jam buat bikin part pertama ini. Tiga kali aku revisi dan kalo kalian nemu typo, kasi tau aku yaa! Terusssss, aku lama update gara-gara partnya kehapus di draft gais :((( Jadi aku bikin ulang part yang baru. Hikshikshiks.

Udah segitu aja deh. Nantikan part selanjutnya yaaa...! Dadaaah!

D e r a j a t  1 8 0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang