Raka's POV
Tidak seharusnya aku mengusirnya waktu itu. Apakah ia baik-baik saja setelah aku membentaknya kasar?
Tentu saja jawabannya tidak. Aku tahu hati gadis itu sangat lembut, sangat mudah dirapuhkan dengan kata-kata.
Aku menyesal. Mengapa aku sangat bodoh? Bagaimana jika gadis itu meninggalkanku? Tidak. Itu tidak mungkin. Kami saling menyayangi, ia itu tidak akan pergi. Tidak akan.
Cklek.
Pintu terbuka sedikit. Perlahan tapi pasti, langkah seseorang mendekat.
Deg! Apa sejak tadi gadis itu ada dibalik pintu? Lalu, kemana Raisya?
"Kamu lapar?" tanyanya sambil tersenyum hangat. Oh, ya ampun. Aku merasa lebih bersalah saat melihatnya berusaha baik-baik saja. Mengapa ia masih bisa tersenyum pada orang yang membuat hatinya sakit. Aku akan meminta maaf padanya.
"Hm," sungguh lancang mulut sialan ini. Tidak tahukah dia bahwa berasal darinya-lah gadis itu terluka.
Gadis itu kembali tersenyum. Ia mengambil mangkuk diatas nakas dan menyuapi makanan menjijikkan itu. Anehnya, tubuhku tidak menolak saat lendir-lendir itu masuk kedalam kerongkonganku.
"Enak, kan?"
Aku mengangguk.
Suasana kembali hening. Tidak ada satu pun yang mau memulai pembicaraan. Ara yang fokus menyuapiku. Dan aku yang terus menganga.
"Maaf," cicitku, akhirnya. Setidaknya, suasana tidak sehening tadi. Benar saja, Ara berhenti menyuapi dan beralih menatapku.
Aku yang tak biasa ditatap seperti itu, hanya bisa memalingkan muka. Aku tak sanggup melihat sebendung luka yang disimpan rapat gadis itu.
"Iya."
Sudah. Itu saja. Setelah mengatakan itu, Ara kembali menyuapiku. Dan, suasana malah bertambah canggung!
"Dokter bilang, kau sudah boleh pulang. Luka-lukamu sudah membaik," ujarnya setelah beberapa menit mempertahankan ego masing-masing.
"Lalu kepalaku?"
"Dokter juga memberikan resep untuk kepalamu dan kau bisa menebus obatnya dibagian farmasi.
Aku mengangguk-angguk. Wajahku datar saja. Tapi hatiku, senang bukan main!
"Kau bisa pulang besok."
"Sore ini nggak bisa?" tanyaku cepat.
Gadis itu menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Antara terkejut, curiga, atau, ah entahlah, aku tak begitu memahami wanita.
"Uhm, aku tidak nyaman berada disini. Baunya. Ya, baunya! Kau tahu bau rumah sakit itu sangat tidak enak."
Seriuosly? Sejak kapan ejaanku sangat baku? Pasti sejak berteman dekat dengan Ara yang baru saja berhijrah. Haha.
"Aku bisa memintanya untukmu," gadis itu bersiap pergi. Aku tidak bisa membiarkannya pergi lagi. Dengan keterpaksaan, aku mencekal tangannya.
"Tidak. Tidak perlu. Aku bisa disini sampai besok."
Gadis itu memiringkan kepalanya. "Kau yakin?"
'Yeah... bukankah itu lebih baik untuk kepulihanku?"
"Tentu saja," ujarnya sambil tersenyum manis.
Usahaku berhasil. Ara kembali duduk dan mengangsurkan bubur yang sudah dingin ke mulut besarku.
———
22.00 pm
Sudah sejak pukul 8 Ara pamit pulang. Ia nekat shift malam meski sudah ratusan kali aku melarangnya. Tetapi Ara adalah Ara. Keputusannya tidak dapat diganggu gugat.
KAMU SEDANG MEMBACA
D e r a j a t 1 8 0
Teen Fiction"Kamu tahu titik terendah Bumi?" "Hm ... sekitar 5.000 kilometer?" "Bahkan lebih dari 10.000 kilometer. Dan kamu tahu siapa pemilik titik serendah itu?" "Semua orang tahu jawabannya. Palung Mariana, bukan?" Pemilik kedua kornea hitam pekat itu menga...