Hati memiliki nalarnya sendiri sedangkan nalar tak memiliki hati
-Blaise Pascal------------
Matahari masih malu-malu menunjukkan sinarnya. Aku dengan semangat berjalan riang ke Sekolah. Kali ini aku memang sengaja berangkat pagi sekali ke Sekolah untuk bertemu kak Angkasa. Aku ingin menceritakan semuanya padanya. Aku tak ingin kak Angkasa terus marah padaku tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Kak Senja. Dia masih belum masuk Sekolah. Aku terus melarangnya untuk pergi. Dia belum sembuh total dan masih harus beristirahat.
Aku? Kalau kalian tanya bagaimana keadaanku setelah insiden itu. Sungguh, ini sangat menyiksa. Aku harus beraktivitas dengan punggung yang masih terasa sakit. Saatku bangun pagi tadi rasanya seluruh tulang punggungku remuk. Tapi aku tak ingin mengkonsultasikannya ke Dokter. Aku yakin ini akan sembuh tak lama lagi.
Setelah berjalan kaki sekitar 3 km akhirnya aku sampai di Sekolah. Lelah rasanya. Tapi tak apa, aku memang sengaja tak ingin menaiki angkot. Hemat ongkos dan hitung-hitung olahraga pagi. Oke, lupakan soal itu. Sekarang tugasku adalah mencari kak Angkasa.
Aku bergegas menuju kelas kak Angkasa. Aku yakin dia sudah berangkat. Aku tahu, walaupun penampilannya badboy namun ia selalu berangkat pagi.
Aku membuka pintu kelasnya. Kosong. Tak ada orang. Tetapi aku menemukan tas converse berwarna biru milik kak angkasa tergeletak lunglai diatas meja. Nah, kini aku bertambah yakin jika kak Angkasa sudah ada di Sekolah.
Aku segera berlari keluar. Taman. Itu yang ada dipikiranku. Entahlah kenapa hanya tempat itu yang ada dipikiranku. Tanpa banyak basa-basi aku berlari kecil melalui lorong agar segera sampai disebuah taman tepi aula.
Aku menatap sesosok pria sedang duduk dibangku putih membelakangiku. Aku yakin dia adalah kak Angkasa. Rambutnya, Postur tubuhnya, membuat keyakinanku bertambah.
Aku mendekatinya dari belakang. Aku menunduk dan mulai menetralkan detak jantungku.
"Ekhem! Kak Angsa, maafin jingga. Jingga kemarin gak nepati janji dan buat kak Angsa nunggu." Ucapku lancar. Aku mengamati gerak-geriknya. Ia masih terdiam kaku.
Bermodal kenekatan aku memeluk lehernya dari belakang, "kak, aku minta maaf" kataku tepat ditelinganya.
Ia tampak terusik lalu menolehkan wajahnya padaku. Berhadapan.
Mataku membelalak menatapnya, buru-buru aku melepaskan pelukanku.
"Ngapain lo peluk-peluk gue? Jatuh cinta ya lo?" Pekik orang itu merasa aneh sambil melepas headseat putih yang dipasang di kedua telinganya. Ya aku salah orang. Orang yang kupeluk tadi ternyata kak Ezra bukan kak Angkasa.
Aku tergagap, "anu--kak"
"Anu, kadas, kurap?" Tanyanya kesal.
"Salah orang." Kataku sambil meringis.
"Semua orang yang modus meluk-meluk gue juga bakal ngomong gitu. Udahlah gak usah ngeles." Katanya sombong.
"Tau ah. Mending aku cari kak angkasa." Ungkapku kesal melihat kesombongannya.
"Oh lo cari angkasa si cemen itu ya? Dia di Kantin." Ucapnya tanpa mau menatapku.
"Makasih." Kataku ikut kesal lalu pergi meninggalkannya sendirian di taman.
Aku segera menuju kantin. Semoga saja kak Ezra Fiesta tadi gak berbohong.
Ya Allah kak. Kuharap kali ini keberuntungan berpihak kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
JINGGA
Teen FictionJingga, Gadis polos yang harus menjalani hidup rumit di tengah hiruk pikuk kota Jakarta. Harus bekerja separuh waktu demi mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Ditinggalkan ayah dan bunda tercintanya sedari kecil adalah takdir buruk yang harus diterim...