PART 9 - PERJUANGAN JOY🌷

23 2 0
                                    

Kamu lelah? Mari Istirahat.
Jangan sakit. Kamu kuat.
Silahkan Menangis.
___

Mataku mengerjap. Pandangan pertama yang kulihat adalah dinding putih dengan selang indus yang menggelantung, tunggu!!----SELANG INFUS?

APA? TANGANKU DIINFUS?!
Itu artinya aku sedang berada di Rumah Sakit sekarang ini.

Tapi..

Bagaimana bisa? Tidak, tidak!
Seharusnya aku masih di gudang tempat beby menyekapku.

Seingatku, aku belum sempat kabur dan belum mengabari siapapun. Bahkan, aku dipukul beby hingga pingsan.

Dan yang jadi pertanyaanku sedari sadar tadi adalah..

Kenapa aku bisa disini?
Apa beby yang membawaku kesini? Mungkinkah dia sebaik itu?

Aku tidak yakin bila dia berbaik hati melakukan itu, tapi siapa sangka? Mungkin memang benar dia yang membawaku kesini, kalau memang benar begitu aku harus berterimakasih kepadanya.

Ternyata dia masih punya hati.

"Jingga, lo udah sadar?" Instruksi suara bariton yang terdengar lembut menganggu lamunanku.

Aku menatap dia heran, "Kok kamu bisa disini?" Tanyaku padanya. Jujur, aku masih bingung dengan apa yang terjadi sebelumnya. Pria jangkung itu semakin mendekat sebelum ia berdiri di dekat brankarku.

"Ha? Terus kenapa?" Tanyanya yang malah ikut bingung.

"Kamu tau darimana aku disini?" Ulangku.

"Kan gue yang bawa lo kesini" jawabnya terlihat jujur.

Aku semakin bingung, bagaimana ceritanya dia bisa membawaku ke Rumah Sakit ini?

"Joy, maksudnya gimana? Bisa ceritain?" Pintaku sambil menatapnya. Ya, lelaki itu adalah Joy. Lelaki yang selalu menghibur dan membantuku dikala susah.

Joy terkekeh pelan melihat raut wajahku, "Gue tadi dikabarin sama restya." Ungkapnya.

"Restya?! Maksudnya gimana sih? Kalau cerita jangan setengah-setengah dong." Sungutku yang malah tambah bingung.

"Hahaha.. oke-oke. Gue cerita secara singkat aja ya. Jadi gini, kemarin--"

"Tunggu.. kemarin?!" Potongku.

"Iyalah.. lo pingsan sehari penuh tau gak. Bikin gue cemas." Jawab joy kesal.

"Oh gitu, maaf deh. Lanjut cerita kalau gitu" kataku sambil meringis.

"Kemarin gue ditelfon restya, dia bilang lo diculik. Gue gak tau restya dapet info darimana. Info itu sanggup buat gue khawatir dan gue bela-belain datengin rumah restya, terus kata restya lo diculik sama beby."

"Bermodal keahlian gue dalam bidang hacker dan bantuan dari restya gue bisa dapet lokasi beby dengan mudah. Sesampainya gue dan restya disana, gue lihat lo pingsan dengan beby yang bawa pisau di tangannya. Gue gak tau dia mau ngapain. Pokoknya tuh orang udah gila!" Cerita joy menggebu-gebu.

"Oh gitu ceritanya. Makasih ya Joy udah mau nolongin aku. Aku gak tau gimana jadinya kalau gak ada kamu" ucapku tulus sambil menunduk.

"Mungkin kalau kamu dan restya gak dateng, aku udah ketemu Ayah di Surga." Lanjutku sambil tersenyum tipis.

"Ssst! Jangan ngomong gitu ah." Kata joy sambil menempelkan telunjuknya di bibirku.

Aku kikuk, iyalah kikuk.
Siapa coba yang gak kikuk kalau digituin sama cogan. Huh!

"Ekhem!" Dehemku membuat Joy menyingkirkan jari telunjuknya.

"Oh iya, dimana restya? Terus apa kak Senja tau soal ini? Pasti dia khawatir banget." Tanyaku mencairkan suasana.

"Restya lagi dirumah lo ngerawat kak Senja. Suhu badan kak Senja naik. Dia demam ketika tahu lo diculik" ucap joy jujur.

Dahiku berkerut, aku khawatir dengan keadaan kak Senja. Bagaimanapun juga, dia seperti itu karenaku. Adik mana yang tidak khawatir pada kakaknya bila kakaknya sakit?

"Joy.. aku mau pulang" pintaku sambil menarik kedua tangannya.

"Pulang? Lo gila? Lo baru aja sadar, jingga." Tolak joy mentah-mentah.

Aku berdecak pelan, aku menatap joy dengan tatapan memohon.

"Joy, aku mohon. Sungguh, aku udah sehat. Lagian aku gak mau terlalu lama disini. Aku cuma orang miskin, joy. Kalau terlalu lama disini aku bingung bagaimana caranya aku bisa bayar biaya rumah sakit ini. Bahkan, sekarang-pun aku sudah bingung dengan itu. Aku gak punya uang, joy" ucapku meminta joy mengerti.

Kulihat joy masih tampak diam, aku menunduk menyembunyikan air mata.

"Aku mohon, joy." Ucapku lagi karena tak kunjung mendapatkan balasan.

"Lo tenang aja, jingga. Gue bisa bayarin semua biaya Rumah Sakit ini kalau lo mau. Asal lo janji, lo baru boleh keluar kalau lo udah sehat. Gue gak mau lo kenapa-napa." Kata joy serius sambil mengangkat wajahku menggunakan kedua tangannya.

"Aku tau kamu baik banget, joy. Tapi aku gak mau kamu terlalu mencampuri urusan aku seperti ini. Aku ingin keluar dari Rumah Sakit ini. Itu hak aku, kamu gak berhak ikut campur." Ucapku sambil menepis kedua tangannya.

"Oh ya, satu lagi. Makasih udah nyelamatin aku. Suatu saat, aku akan balas itu." Kataku sambil berusaha mencabut selang infus.

Selang infus ini sulit untuk aku lepas. Menyusahkan saja.

Kenapa selang infus ini tidak seperti di film yang ditarik sedikit saja langsung lepas?

Joy terkekeh pelan, "gak bisa lepas infus ya? Makanya jangan bandel." Ucap joy sambil menarik hidung mancungku.

Wajahku memerah. Sungguh, aku sangat malu.

Bodoh, jingga!! Kamu bodoh banget sih.

"Kalau lo emang maksa mau keluar biar gue urus dulu. Masa iya lo asal nyelonong kabur aja." Kata joy lagi.

Aku mengangguk ragu. Wajahku masih merah menahan malu.

"Udah biasa aja kali mukanya. Lo gemesin banget kalau gitu."

"Ishh joy mah! Cicing atuh ah." Ucapku diselingi dengan bahasa sunda.

[Ishh joy tuh! Diamlah.]

"Lo ngomong apa, anjay. Gak ngerti gue." Ucap joy sebelum meninggalkan kamar inapku.

Selepas kepergian joy, aku hanya diam menatap langit-langit kamar. Kamar ini lebih luas dan bersih dibanding rumah yang biasa kutinggali.

Krekk..
Pintu terbuka menampilkan dokter berpawakan besar dengan stetoskop yang menggelantung di lehernya.

"Selamat Pagi, Nona Jingga. Gimana rasanya? Masih sakit?" Tanya dokter itu sambil tersenyum ramah.

"Pagi, dok. Sebenarnya punggung saya masih sakit banget, dok." Ucapku jujur.

"Kemarin saya periksa, punggung kamu kebiru-biruan. Saya duga itu hasil pukulan menggunakan benda keras. Betul?" Tanya dokter itu mengeluarkan analisisnya.

"Iya dok, benar." Kataku mengiyakan karena memang benar itu yang terjadi.

"Oh iyaa.. kata teman kamu, kamu mau izin pulang?"

"Iya dok"

"Saya sarankan sebaiknya jangan. Kamu istirahat saja dulu disini. Saya takutnya memar dan luka ditubuh kamu bertambah parah. Apalagi kamu belum melakukan pemeriksaan keseluruhan." Ucap dokter itu berniat mencegah keinginanku.

"Tidak, dok.. saya yakin tidak akan terjadi apa-apa. Saya mau pulang sekarang juga!" Kataku tak terbantahkan. Dokter itu hanya mengangguk samar. Mungkin dia sedikit ragu untuk mengiyakan permintaanku, dan aku tidak peduli apapun itu.

"Baiklah, biar teman kamu urus biaya administrasi dan tanda tangan kepulangan dulu ya. Habis itu baru kamu bisa pulang." Kata dokter itu sambil tersenyum.

"Iya dok, makasih." Kataku tak tau lagi harus berkata apa.

🦋🦋🦋

JINGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang