19. Titipan yang pulang

804 119 5
                                    

.

Aku terbangun sambil menyamakan cahaya ruangan dengan penglihatanku.

Pemandangan keempat temanku dan mama adalah yang pertama menyapa penglihatanku. Wajah mereka tampak cemas.

"La," panggil Jennie sambil menggenggam tanganku.

"Udah sadar?" timpal Yeri.

Aku mengangguk lemah sambil mendudukkan tubuhku dibantu sakura.

"Masih pusing, sayang?" tanya mama sambil berjalan mendekat dan mengelus suraiku.

"Ini minum dulu" tawar Ryujin sambil memberi segelas air putih untukku. Aku menerima gelas itu dan menegaknya habis.

Tadi aku lagi di rumah sakit, tapi bangun-bangun udah di rumah aja. Rumahnya kak Seungwoo lagi.

Seingatku, tadi aku lagi di rumah sakit nunggu Dipya yang lagi sakit. Oh, tidak.

Aku mulai menunduk, tapi tidak menangis. Terdiam, mencoba mencerna semuanya. Selama hidupku, baru kali ini aku merasa kehilangan seseorang yang aku sayang untuk selamanya.

"Nila itu kuat" ujar mama sambil memelukku erat. Suara mama bergetar, mata mama juga sedikit bengkak.

Mama mundur dan membiarkan aku dipeluk empat temanku. Sepertinya, mama sudah tidak kuat lagi menahan sedihnya, karena mama mulai menangis kembali.

Aku bergegas melepaskan pelukan mereka dan bangkit berjalan keluar dari kamar.

Aku tidak menghiraukan panggilan dari teman-temanku maupun mama.

Dengan mata berkaca, tatapanku menatap lurus orang yang dari tadi terus muncul dibenakku.

"Kakak," panggilku pelan, dia menoleh.

Aku langsung berhambur memeluknya erat. Didekapannya, aku baru mulai menangis.

Kak Seungwoo tidak bergeming, dia hanya diam sambil mengeratkan pelukannya padaku. Dia juga ikut menangis.

"Aku mau lihat Pya" ucapku sambil mendangak menatap kak Seungwoo. Tanganku terulur menghapus jejak air matanya.

Aku tersenyum dengan mata yang masih berair, aku harus kuat.

Kak Seungwoo membawaku ke arah ruang tamu yang sudah lumayan ramai.

Jantungku berpacu oleh keadaan, anggota gerak rasanya melemas menatap peti putih dihadapanku.

"Dipya," panggilku sambil membawa anak itu ke dalam gendonganku.

Tangisku pecah kembali saat merasakan badannya yang mulai dingin. Dipya sudah benar-benar pergi.

"Tidur yang tenang, Pya. Mama sayang" lirihku lalu memeluk dan menciumi Dipya.

"Pya udah tenang disana, dia udah nggak ngerasain sakit lagi, Dek" ucap kak Seungwoo.

Ia lantas membawaku ke dalam pelukannya bersama Dipya juga. Ingin waktu berhenti sebentar saja, biar seperti ini dulu. Besok sudah tidak bisa lagi.

"Kak, malam ini aku mau tidur sama Pya"

🏡🏡🏡

Masih bersyukur untuk tiga bulannya. Dikasih kesempatan bisa merawat Dipya. Kesempatan menjadi ibunya Dipya.

Sedih memang, tapi mungkin saja ini yang terbaik. Sudah cukup Dipya menahan sakitnya, sekarang waktunya dia bahagia.

Aku duduk di sofa ruang tamu. Baru saja pulang dari pemakaman, tamu-tamu juga sudah pada pulang.

"Ma," panggil Dongpyo.

Aku menoleh, menatap anak itu nanar. Seharusnya, aku tidak boleh meratapi kepergian Dipya seperti ini. Aku masih punya satu kewajiban untuk jaga titipan tuhan yang satu lagi.

"Udahan dong sedihnya. Kata grandma, mama belum makan dari malem. Ini udah pagi lo, Ma. Nggak laper?" tanya anak itu sambil menyodorkan sepotong sandwich ke arahku.

Aku tersenyum sambil menerima sepotong sandwich itu. Hanya mengambil, tanpa ada niat memakannya. Buat Dongpyo menghela nafas pelan dan mengambil alih makanan itu dan menyuapiku.

"Mama kalo nggak makan nanti sakit"

Aku mengangguk sambil menerima suapan dari Dongpyo. Setelah selesai menyuapiku, Dongpyo lalu membawaku ke dalam pelukannya.

Pelukan ini tidak seperti biasa yang hanya melingkarkan tangannya di perutku, melainkan merengkuh tubuhku dan membuat wajahku tenggelam di bahunya. Caranya, sama seperti papanya memelukku.

"Pyo, sayang banget sama mama. Aku juga sedih Pya pergi, tapi kita harus ikhlas kan, Ma?"

Aku membalas pelukan anak itu lalu mengangguk, "Iya, Nak"

Setelah Dongpyo melepaskan pelukannya, atensiku lalu teralih ke papa yang jalan ke arahku dan duduk disampingku.

Sempat ada jeda untuk aku dan papa terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Di dunia ini nggak ada yang abadi" ucap papa membuka suara.

"Semuanya bisa datang dan pergi kapan saja. Siap ataupun tidak siap" lanjutnya. Aku mengangguk.

"Setelah papa lihat, papa baru sadar. Nila jauh lebih kuat dari apa yang papa bayangkan" ujar papa membuat aku menoleh, memfokuskan pandanganku ke papa.

Tangan papa terulur mengusap suraiku lembut, memberiku ketenangan disana disusul senyum hangat dan pandangan teduh.

"Nila itu kuat sekali. Pengalaman benar-benar mendewasakan kamu" ujar papa.

Aku tersenyum dengan air mata yang berhasil lolos membasahi pipi, "Papa," lirihku pelan lalu memeluk papa erat.

●●●

❣❣❣

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

❣❣❣

Punten ijin promosi,

Mari bermain-main dengan rumah tangga Seungwoo di Him

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mari bermain-main dengan rumah tangga Seungwoo di Him. Terima kasih.

Btw, selamat puasa bagi yang menjalankannya. Mohon maaf lahir dan batin.

🌠

Madre, SeungwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang