Nadya Menemukan Surat Ruqayah

677 40 1
                                    


🌿🌿🌿

Ini orang emang dingin dan jutek banget.  Bangetnya sampe bingit-bingit ... bukan aku mau menghiperbola-kan sikapnya. Namun, memang kenyataannya begitu.  dinginnya itu lho udah melebihi kutub utara. Kayanya sih.

Ganteng-ganteng, tapi anyep kan percuma. Kaya bubur ayam yang udah lengkap, tapi sayangnya lupa dikasih garam.

Masa aku tidak boleh turun dari mobil sebelum ada komando darinya. Alah kaya aku mau bikin ulah aja. Padahal emang iya sih, hehehe ... cuma mau pamer aja  sama para santriwati centil itu.  Jika aku yang duluan ketemu sama pujaan hatinya. Bukan pujaan, tetapi tepatnya sang idola.

Tidak hanya ketemu aja, tetapi  sampai dibeliin gamis dan satu mobil sama si kutub utara itu. Coba bayangkan sendiri! Betapa hebatnya rayuan maut Nadya. Sebenarnya bukan rayuan maut, tetapi kekonyolannya yang hebat.

Si hantu Revan aja sampe tobat menghadapi tingkahku. Apalagi dia yang baru mengenalku beberapa jam lalu. Pasti tidak akan tahan dengan sikap kekanak-kanakanku. Sebenarnya aku bertingkah begini hanya ingin cari perhatian saja. Biar ada yang memperhatikanku sedikit.

Astaga .... aku kok bodoh banget sih. Seharusnya aku bersyukur kalau tidak boleh turun dari mobilnya. Kan aku bisa cari handphone-ku yang udah dia sita dengan seenaknya. Ini kesempatan satu-satunya untuk bisa mengambil handphone-ku lagi.

Aku mengacak-acak laci mobilnya, tetapi hasilnya nihil malah nemuin surat. Ini surat dari siapa, ya?  Ternyata surat itu ditulis pakai huruf brailer. Kalau soal urusan beginian Nadya jagoannya. 

Masa calon guru SLB tidak tahu huruf brailer. Aku sengaja mengambil jurusan itu karena memiliki alasan yang tepat untuk mengambilnya.  Nasib mereka–kaum disabilitas sama denganku. Sering dibully, dihina, dan dijauhi banyak orang.

Mungkin setelah aku menjadi guru SLB, aku bisa memiliki banyak teman yang senasib. Namun, sayangnya impian itu hanya tinggal impian saja. Karena sekarang aku dipesantrenkan oleh mereka. Sejak awal mereka memang tidak setuju dengan keputusanku untuk mengambil jurusan itu.

Namun, aku tetap bersikeras untuk mempertahankan  mimpi muliaku itu. Untuk mengabdikan diri mengajar mereka dengan setulus hati. Tak terasa air mataku menetes saat membayangkan mimpiku yang kandas itu.

'Jangan sedih Nadya, kamu sekarang hanya mau kepoin suratnya. Kenapa harus pake mewek-mewekan sih?'
Teruntuk Gus Yusuf ....

Puluhan kali ana sudah melaksanakan salat istikharah. Untuk menemukan jawaban yang sulit akan pertanyaan Gus Yusuf. Iya Gus, jawabanku tetap sama. Ana tidak bisa menerima pinangan Gus.

Bukan artinya ana ragu akan itikad baik Gus. Namun, garis takdir ana-lah yang tak dapat menerimamu. Mungkin ana bukanlah bidadari duniamu, tetapi hanyalah bidadari surgamu kelak.

Ana tidak pernah menyesal terlahir buta seperti katamu. Dan juga tidak pernah merasa jika diri ini memiliki kekurangan untuk mendampingimu. Anugerah-Nya tidak hanya soal penglihatan, tetapi segalanya dalam hidup.

Alasanmu melamarku sebenarnya sudah cukup untuk bisa kuterima. Kau mencintaiku karena Allah. Namun, sekali lagi aku tidak bisa menerimamu, Gus. Bukan artinya ana egois, tetapi takdirlah yang membuat kita tidak bisa bersatu di dunia.

Jangan tanyakan kenapa aku selalu mengataskan namakan takdir. Sebagai pembatas hubungan kita. Kelak kau akan mengerti kenapa aku selalu menolak itikad baikmu.

Ketika kelak kau mengetahui alasannya. Janganlah meneteskan air mata, Gus. Ana yakin Allah akan mengirim bidadari lain dalam hidupmu. Seperti Dia yang sudah menitipkan hatimu padaku.

Ana harap kepergiaanmu ke Turki. Akan bisa sedikit mengobati lukamu karena diriku. Ana cukup trenyuh akan cinta Gus terhadap diri ini.

Anta tidak pernah mencintai ana karena rupa, derajat, dan akhlak ana. Katamu itu semua bisa berubah dengan seiringnya waktu. Namun, kau mencintaiku karena Allah. Cinta tertinggi adalah cinta-Nya kepada seorang hamba.

Ketika manusia mencintai kekasihnya karena Allah. Maka ia tidak akan pernah bisa meninggalnya. Meski dalam keadaan apa pun. Ia akan tetap bersamanya untuk melangkah bersama ke surga-Nya. Bidadarimu kelak akan beruntung memiliki imam sepertimu, Gus.

Tersenyumlah Gus ... saat kau membaca suratku ini.

Ruqayah

Masya Allah ... isi suratnya menyentuh sekali. Jadi ini gadis yang bisa meluluhkan si kutub utara itu. Jadi penasaran aku sama Ruqayah pasti orangnya istimewa sekali.

Ya Allah beruntung banget sih Ruqayah. Bisa dicintai laki-laki sebaik Gus Yusuf. Setelah aku membaca suratnya Ruqayah. Diri ini semakin kagum padanya.

Namun, juga ada salah satu organku teriris sepertinya sedang terluka. Saat mengetahui Gus Yusuf sudah memiliki perasaan kepada gadis lain. Sakit rasanya, Gus ....

'Astaga Nadya ... apa yang sedang kamu pikirkan? Buang jauh-jauh perasaan aneh ini dari hatimu. Jika tidak mau sakit hati pada akhirnya.' Cinta mereka benar-benar tulus, tak mungkin aku tega menikung Ruqayah.

Cintaku ibarat bunga layu sebelum berkembang. Cinta? Apakah aku sudah jatuh cinta dengan kutub utara itu? Masa iya baru ketemu bisa langsung jatuh cinta. Kayanya itu suatu yang mustahil.

Segera kuenyahkan pikiran pikiran aneh yang terus menguasaiku. Aku melirik jam tanganku dengan gusar. Ternyata aku sudah seperempat jam di dalam mobil ini.

Dia malah enak-enak pelukan sama uminya tanpa ada rasa bersalahnya gitu. Dasar makhluk kutub! Pengen deh lempari bom ke arahnya. Biar sekali-sekali tahu rasa itu orang.

"Gus ... apakah aku udah boleh ke luar?" tanyaku sembari menongolkan kepala.

Gus Yusuf memberikan tatapan paling tajam padaku. Galak amat Gus, padahal kan aku cuma nanya doang. Emangnya kelamaan di dalam mobil tidak gerah apa.

"Kalau mau keluar tinggal keluar aja sih. Gak usah pake nanya-nanya lagi. Apa ente tidak bisa buka pintunya? Apa harus ane yang bukain pintunya?" Gus Yusuf melototiku seolah-olah yang salah di sini adalah aku. Gak sadar kalau sekarang yang salah dia.

"Kalau Gus mau bukain pintunya. Ya gak papa sih. Aku tidak keberatan kok malah seneng," jawabku dengan sedikit menggodanya. Ya, walaupun aku tidak pernah serius dengan itu semua.

Umi Aisyah hanya senyam-senyum sembari menggoda putranya yang lagi dongkol. Pasti rasa jengkelnya pada uminya itu akan segera dilimpahkan padaku.

"Ente memang bisanya selalu bikin ulah aja." Kok ini ngomongnya malah tidak sambung gitu ya. "Emangnya kapan ane ngomong kaya gitu. Ane tadi cuma suruh ente nunggu sebentar sampe kondisinya stabil. Nah kalau udah tahu kondisi stabil, ya ngapain masih di situ." 

Ya Allah ... ini orang dulu kecilnya dikasih makan apa sih? Palingan dikasih makan salju dari kutub utara. Makanya jadi dingin kaya gitu.

Pengen deh kasih bom di mulutnya itu. Pandai banget mutar balikan ngomongan. Aku yakin kalau aku keluar tadi pasti juga kena ocehannya. Sebenarnya apa maunya sih?

Apa aku harus nanya dulu ke warga Bikini Battom? Bagaimana caranya menghidupkan api di dalam air. Atau cara mandi di dalam laut pake bak mandi. Biar dia ingat semua perkataannya tadi, hah.

"Tadi kan Gus Yusuf suruh aku buat nunggu di mobil aja. Dan tidak boleh ke luar dari mobil sebelum ada peritah dari Gus Yusuf. Apa Gus sekarang lagi amnesia toh?" tanyaku semakin membuat matanya melotot lebih lebar. Kaya mau  ke luar aja tuh mata, Gus.

Coba sekarang dia mau jawab apa lagi. Palingan bisanya oceh-oceh tidak jelas. Tetapi kayanya jawabanku ini tidak bisa disanggahnya lagi deh.

"Ya udah sekarang ente boleh ke luar dari mobil. Puas?!" Astaga ... apa Gus Yusuf bisa baca pikiran orang juga, ya? Kok dia sepertinya sudah punya jawabannya. Sebelum orang itu bertanya langsung.

Bersambung

Pesantren Untuk Gadis IndigoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang