Nadya Harus Ganti Baju

654 34 0
                                    

Gus Yusuf banyak memberiku semangat untuk sembuh dari namanya indigo. Katanya aku ini memang wanita istimewa, kalau tidak mana mungkin diriku yang dipilih oleh keluarga terdahulu. Sebagai penerus perjanjian mereka dengan jin.

Ia janji akan tetap bersamaku untuk sekedar membantu. Sampai aku benar-benar normal dan bebas dari jeratan mereka-Jin. Katanya, merekalah yang membuatku enggan untuk memiliki hubungan dengan manusia meski itu hanya sebatas pertemanan.

Merasa jika dunia mereka lebih baik daripada duniaku sendiri. Bukan main aku sudah terlampau jauh memasuki ranah dunia mereka yang seharuanya tidak kukenal.

Tiada manusia yang mampu melihat alam ghaib kecuali dalam bentuk terbatas. Nah, aku lebih daripada yang terbatas. Itu bukan anugerah melainkan tipu daya setan.

'Terima kasih, Gus karena telah membuka hatiku untuk melihat yang sesungguhnya.'
.
.
.

Gus Yusuf menungguku dengan tatapan jenuh dan raut wajah kesal. Salah sendiri menyuruhku untuk ganti pakaian sekarang. Padahal nanti kan bisa di pesantren.

Lagi-lagi aku yang selalu disalahkan olehnya. karena terus saja memperhambat perjalanannya. Siapa suruh memedulikan orang gila sepertiku, Gus.

Gus Yusuf sudah mengoceh ngalor kidul tidak karauan. Ya, seperti biasanyalah. "Coba saja ente tidak gila seperti tadi mungkin saja kita sudah sampai di pesantren."

Hello ..., bukannya situ sendiri yang ajaki aku ke butik dulu. Mending kalau nanya dulu, nah ini langsung saja pergi. Menghadapi manusia es emang harus super sabarnya.

Sebenarnya situ kulkas apa manusia sih Gus, Dingin banget. Apa perlu aku masuki kawah dulu, Gus. Biar gak dingin-dingin amat jadi orang.

Katanya, pakaianku sudah kaya Tarzan mau ke kota. Iya, iyalah habis guling-guling ke aspal. Ealah Gus ... siapa juga yang mau lihati pakaianku nanti. Jugaan semua mata pasti akan tertuju padamu bukannya aku.

"Gimana cocok enggak?" tanyaku padanya yang sedang asyik membaca majalah. Bukan dibaca sih, tetapi tepatnya hanya dilihat-lihat saja. Kadang-kadang cuma buat kipas-kipas. Dasar tidak bisa menghargai ilmu!

"Ente yang mau pakai baju, kenapa harus nanya dulu ke ane, "jawabnya tanpa memandangku. Ngeseli banget sih jadi orang. Pengen rasanya aku masuki dia ke magma gunung. Kali aja cara itu masih mempan untuk hilangi sifat dinginnya.

Bilang bagus atau apalah kan sebenarnya masih bisa. Sekedar untuk legain hati saja. Tadi ngapain suruh ganti kalau emang terserah aku. Kalau bukan nyebeli, apa coba namanya?

"Ngapain masih diam di situ kalau udah cocok bajunya, ya ayo pergi, Nad!" Ya Allah ... ini orang memang ngeseli banget. Pengen aku jadiin adonan donat sekarang. Terus tak telen bulet-bulet.

"Gus sadar gak sih kalau sebenarnya Gus itu nyebeli pake banget. Tadi ngapain suruh ganti kalau emang terserah aku," protesku dengan bibir lima centi.

"Dasar bocah! Emangnya nanti ente mau diketawain sama satu pesantren. Ya terserah sih kalau mau pake baju itu lagi," jawabnya dengan jutek. "Sebenarnya ada alasan lain sih, tapi kalau aku kasih tahu nanti malah jadi berape urusannya. Bisa-bisa gak kelar sampai besok."

Gus Yusuf langsung menuju mobilnya tanpa menungguku terlebih dulu. Bablas aja tanpa tengok kanan kiri. Tidak peduli jika di belakang masih ada orang.

"Iya Umi sebentar lagi Yusuf udah mau sampe. Tunggu aja, ya Umi sayang."Tampaknya dari tadi Umi Aisyah berkali-kali menghubungi Gus Yusuf.

Sekarang Gus Yusuf lebih banyak diam ketimbang mengoceh seperti tadi. Paling suaranya udah mau habis makanya diawet-awet. Buat siapin pidatonya nanti di depan para santri. Sekalian diaweti pake formalin, Gus.

Alunan Al-quran yang diputar oleh Gus Yusuf sangat merdu. Membuat suasana hatiku adem ayem. Suara itu mampu menghilangkan semua kegundahanku tadi.

Mataku dari tadi sudah merem melek karena menahan kantuk. Entah kenapa alunan Al-quran itu perlahan merasuki tubuhku. Kemerduannya mampu menghantarkanku terlelap ke alam mimpi.

🍁🍁🍁

Suara bisik dari para santri di depan pagar pesantren membuatku terbangun. Mereka tidak meneriaki Gus Yusuf melainkan aku. Bahkan teriaknya lebih terdengar keras ketimbang tabuhan rebana.

Entah apa yang membuat mereka menjadi heboh seperti itu. Sebagian dari mereka bahkan berani mengintip dari balik jendela mobil. Mungkin salking penasarannya siapa wanita yang bersama Gus Yusuf.

Kalau mereka tahu jika aku yang bersama Gus Yusuf. Akan seheboh apa nantinya, ya? Bisa-bisa para santriwati itu jungkir balik di hadapanku. Secara kan cuma aku, santriwati yang baru bisa dekat Gus Yusuf. Walaupun dengan cara yang konyol.

Desas-desus para santri mulai terdengar di telingaku. Namun, Gus Yusuf memilih tetap diam dan tetap melajukan mobilnya sampai pesantren. Tanpa memberi perjelasan terlebih dulu. Benar-benar orang yang dingin.

Ada yang menebak jika aku adalah gadis Turki yang sengaja dibawa pulang untuk dinikahi. Dan ada juga yang mengira jika aku adalah Ruqayah. Siapa Ruqayah?

Kyai Husein dan Umi Aisyah hanya bisa saling tatap. Tampak mereka ikut cemas dengan adanya wanita di mobil putranya. Terutama Umi Aisyah yang langsung menghampiri mobil Gus Yusuf. Sebelum mobil itu benar-benar memasuki pesantren.

Bersambung

Pesantren Untuk Gadis IndigoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang