Penggantian Nama Gus Yusuf dan Nadya

864 61 6
                                    


Pov Yusuf Husein Akbar

🍀🍀🍀

Sebenarnya apa yang sedang diobrolkan Nadya dengan Ruqayah? Padahal sudah setengah jam aku menunggunya. Inilah penyakit wanita kalau sudah mengobrol pasti  lupa waktu.

Mungkinkah Ruqayah menceritakan masalahnya pada Nadya? Ah, rasanya itu tidak mungkin. Tipikal gadis tertutup seperti Ruqayah tak mungkin mau menceritakan masalahnya dengan orang asing. Apalagi dengan gadis aneh itu.

Bukannya masalahnya selesai, tetapi malah tambah berkali-kali lipat. Kadang-kadang aku juga heran dengan hubunganku dengan Nadya. Seperti sudah mengenalnya sejak lama. Meskipun hubungan kami seperti Tom and Jerry. Tidak pernah akur.

"Udah obrolnya Qaya?" tanyaku sembari menghampiri mereka yang sedang berpelukan. Gadis aneh itu membendung air mata yang tertahan. Ia hanya terdiam tanpa banyak bicara seperti biasanya.

Ia menatapku dengan tatapan aneh yang tak kupahami. Namanya juga gadis setengah konslet jadi semuanya serba aneh. Namun, kali ini sepertinya tatapan itu penuh keibaan dan kebimbangan.

Apakah Ruqayah sudah menceritakan semua masalahnya? Sebenarnya aku ingin menguping pembicaraan mereka. Namun itu tindakan yang pantas dilakukan oleh orang yang mengerti agama.

Semua yang mengarah pada perilaku mencuri hukumnya tetap dosa. Termasuk menguping pembicaraan yang bersifat privasi.

Apalagi Ruqayah sudah memintaku untuk tak ikut mendengar. Semakin tak pantas jika aku tetap ngeyel ingin menguping. Semuanya ada batasannya.

"Udah kok Gus, kalau jenengan mau pergi ke Yogyakarta. Ya mongo silahkan pergi sekarang saja, Gus" ucap Ruqayah dengan nada lembut. Sedangkan Nadya hanya memalingkan wajahnya. Ialu ia menghapus air mata yang tak bisa tertahan.

"Assalamu'alaikum ...." Itulah kata terakhir yang bisa kuucapkan. Diri ini sungguh tak pernah bisa menang dari kekeras kepalaannya.

Sebenarnya aku tak tega untuk meninggalkannya lagi. Tetapi, aku mau apalagi semuanya sudah sesuai keinginannya. Abinya saja tak sanggup meluluhkan kekeras kepalaannya. Apalagi aku, orang asing yang hanya sedang singgah di hatinya.

"Wa'alaikum Salam ...," jawab Ruqayah dengan wajah tertunduk. Gadis sendu itu berusaha menahan isaknya.

"Pikirkan lagi keputusanmu, Kak. Sebelum semuanya terlambat," ucap Nadya dengan sesegukan. Dari tadi hidungnya sudah kembang kempis karena menahan tangis.

Ruqayah tersenyum getir. "Aku sudah memikirkannya sejak dulu, Nadya. Aku mohon tepatilah janjimu padaku, Nad." Janji? Sebenarnya kesepakatan apa yang telah  mereka buat?

Nadya hanya mengangguk.  Lalu ia teringat jika Ruqayah tak bisa dijawab dengan anggukan. "Iya aku janji, tetapi untuk masalah hati itu tergantung dari-Nya. Jangan pernah jadikan itu sebagai beban karena Kakak belum tahu takdir-Nya."

Nadya terlihat dewasa jika begini, tak seperti biasanya yang selalu kekanak-kanaknya. Rupanya gadis aneh itu mampu menetapkan posisinya. Kapan ia bersikap dewasa.

"Ayo Nadya kita berangkat sekarang! Mungkin mobil rombongan ustadz-ustadzah telah menunggu kita di sana," ajakku dengan nada lembut. Tak ingin membuat suasana semakin terlihat sedih. Bisa-bisa aku ikut menitikkan air mata kalau kelamaan di sini.

Nadya kembali hanya mengangguk. Lalu mengikuti langkahku dengan sepoyongan. Ia masih menatap lekat Ruqayah. Kemudian gadis aneh itu menatapku dengan tatapan tertunduk. Aku kembali tak bisa mengartikan tatapannya itu. Antara bingung atau iba.

"Gus ...," panggilnya saat kami memasuki mobil. Nadya menatap jauh ke luar jendela.

"Hmm ...."

"Gus ...," panggilnya lagi dengan suara sedikit keras. Apakah menurutnya aku sudah tuli? Ya Allah ... Nadya mulai kembali kesifat aslinya. Kembali lagi seperti anak-anak. Sabar, sabar, sabar ....

"Hmm ...." Aku tetap memberikan jawaban yang sama. Aku masih  malas bersuara ataupun berceloteh banyak. Aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Bagaimana pun hati ini tetap terluka.

"Gus ...," panggilnya lagi. Ya Allah ... ini bocah emang ngeseli banget.

Gadis aneh itu mulai memajukan bibirnya sampai lima centi. Astaga ini bocah tingkahnya masih saja seperti itu. Memang nih bocah harus diruqyah biar gak konslet-konslet amat kalau sedang bertingkah.

"Apa sih? Dari tadi panggil gus, gus aja tapi gak mau ngomong-ngomong," ketusku sembari mempercepat laju mobil. "Kelamaan bukan gus yang kamu sebut tapi malah jadi Bagus atau Agus."

Mata Nadya  sedikit melotot lalu ia tertawa kecil. Tak menyangka dengan jawabanku yang sedikit konyol. Mungkin aku sudah ketularan konyolnya sedikit.

"Agus ...," panggilnya dengan nada mengejekku. Sialan! Gadis aneh itu benar-benar memanggilku 'Agus.' pandangannya masih teralihkan ke luar jendela. "Tadi Agus kuping gak pembicaraan kami?"

Aku menatapnya dengan tajam. Dari tadi manggili aku cuma mau menanyakan soal beginian. Kalau bukan gadis aneh. Apalagi coba namanya?

"Buat apa aku menguping pembicaraan yang bersifat privasi. Ane masih punya sopan santun. Mungkin kalau ente paling udah lakuin kan." Aku menjawabnya dengan sikap acuh dan dingin.

Jugaan orang yang sedang patah hati diajak obrol, kan aneh. Ya bakalan tidak sambunglah jawabnya. Kalau bukan Nadya siapa lagi yang bisa. Mending kalau obrolannya enak didengar. Nah, ini malah bikin darah tinggi naik.

"Kenapa sih Agus harus polos banget jadi orang. Seharusnya tadi Agus juga dengeri walaupun sudah disuruh pergi sama Ruqayah," jawabnya dengan nada agak tinggi untuk menghakimiku yang menurutnya bodoh.

Ya, namaku dia ubah jadi Agus. Seenaknya ganti-ganti nama orang tanpa ada persetujuan dulu. Awas saja aku akan melakukan yang sama dengan namanya.

"Dasar gadis ...." Ucapanku sudah dipotong terlebih dulu olehnya.

Gadis aneh itu menautkan wajahnya di pinggir jendela. "Gadis gila? Katanya masih punya sopan santun. Kok, panggil orang dengan sebutan gadis gila. Nanti nama Yusuf tercoreng lho sebagai Gus eh maksudnya Agus."

Sialan! Aku disaklamat olehnya. Tidak kusangka ia gadis yang pintar. Kalau aku jawabnya lain sama saja aku seperti menjilat ludahku sendiri.

"Terus mau dipanggil apa?" tanyaku dengan sedikit tersenyum. Ini saatnya melakukan pembalasan atas nama.

Nadya menautkan kedua alisnya lalu mengerutkan dahi. Kenapa harus berpikir dulu, Nad? Padahal nanti namanya hanya mau aku ubah saja. Siapa suruh mengganti namaku menjadi Agus.

"Si cantik atau si imut boleh, Agus," ucapnya dengan sedikit geli. Sebenarnya aku juga geli mendengarnya. Nih bocah pedenya memang selangit.

"Oke deh Jamila," ucapku dengan tersenyum kikuk.

Rasanya sekarang aku ingin tertawa. Apalagi melihat bibirnya sudah mengeruncut. Tetapi tidak mungkin. Aku akan tahan sebisa mungkin. Kalau sampai tertawa pun itu artinya aku sudah tidak tahan lagi.

"Suruh panggil cantik malah panggil Jamila. Gimana sih Agus?" kesalnya dengan memukul-mukul jok kursi.

Ya Allah ... rasanya aku sudah tidak tahan lagi. Aku tertawa kikuk melihat tingkahnya di balik kaca spion. Si Jamila ini lumayanlah buat pelipur lara sementara.

Siapa yang sedang menghibur sekarang, Qaya? Aku yakin Qayaku pasti sendirian sekarang. 'Kenapa kamu tidak mengizinkanmu untuk menghibur dukamu. Kenapa kamu harus menanggungnya sendiri?'

"Kan tadi maunya dipanggil cantik kan. Jamila itu artinya cantik lho kalau dalam bahasa Arab," jawabku semakin membuatnya kesal.

Pesantren Untuk Gadis IndigoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang