"Hihihi ...."Wanita setan itu menertawaiku. Tangannya melambai-lambai padaku. Mata merah wanita itu menyala dengan terang. Bak senter yang dayanya diisi dengan full.
Rambut panjangnya berterbangan kemana-mana. Seolah-olah ingin mengikat tubuhku. Ditambah dengan taring tajam dan wajah hancur. Menambah kesan seramnya saja.
Dari tadi aku sudah berusaha keras untuk bisa tenang. Karena aku sudah berjanji kepada Mama untuk tidak berulah. Namun, akhirnya diri ini harus tetap bertindak. Untuk mengusir makhluk tak tahu diri itu
Maafkan aku ... Pah, Mah ... bukannya aku ingin menghancurkan perjodohan ini. Namun, wanita setan itu dari tadi mengganguku.
Aku melirik Papa dan Mama yang sedang asyik berbincang dengan keluarga Permadi. Aku langsung melempar garpu ke arahnya. Namun, sialnya garpu itu mengenai
Johan–pria yang ingin dijodohkan denganku."Hihihihi ...."
Wanita setan itu malah menertawaiku. Seolah-olah sekarang ia sedang mengejekku. Awas saja aku akan membuatmu kesakitan.
Kulantunkan mantra-mantra yang kupelajari dari paranormal. Kemarin aku memang sengaja menemui paranormal.
Sekedar untuk mengetahui kelebihan yang aku miliki. Ia memberikanku jimat sejenis mustika untuk melindungi diriku dari gangguan mereka. Ah, paranormal itu pembohong. Buktinya sekarang makhluk itu masih mengganguku.
"Nadya ... apa yang sedang kamu lakukan?!" tanya Papa sedikit membentakku. Mama mengisyaratkanku untuk kembali duduk.
"Enggak mau Pah ... dia terus mengejekku dari tadi," jawabku dengan masih melafaz mantra itu. Agar wanita setan itu pergi dari sini.
Aku melempar sendok, garpu, bahkan kontak tissu ke arahnya. Berteriak-teriak seperti orang gila. Saat ini aku sudah menjadi tontonan para pengunjung restoran.
Tindakanku itu membuat keluarga Permadi menjadi ilfeel. Sekali lagi aku gagal untuk mendapatkan jodoh. Semua orang di sini mengiraku sudah gila.
"Maaf ... sepertinya kami tidak jadi melanjutkan perjodohan ini. Karena aku tidak ingin putraku menikah dengan gadis gila." Perkataan Pak Permadi sungguh membuat hatiku.
Aku belum benar-benar gila. Sungguh ... kenapa mereka tidak bisa memahami diriku? Jika yang kulihat semuanya benar-benar nyata bukan ilusiku saja.
•••
Papa benar-benar marah denganku. Sudah 5 kali aku dijodohkan, tetapi hasilnya selalu nihil. Tak ada yang mau mendekati wanita aneh seperti ini.
"Papa tidak habis pikir denganmu Nadya. Apa sih mau kamu yang sebenarnya? Sampai kapan kamu mau begini terus," tanya Papa dengan parau.
Mungkin Papa sudah lelah dengan ulahku. Di mana aku berada pastinya selalu ada keributan. Bahkan aku dijuluki si ratu halu di kampus.
Teman kampusku selalu mengejek kelebihanku ini. Mereka tidak pernah percaya dengan apa yang aku lihat.
"Aku hanya ingin mengusir dia, Pah. Apa salahku?" jawabku dengan nada serak karena menahan isak.
Mereka hanya menggelengkan kepala lalu menghela napas berat. Mama membisikkan sesuatu di telinga Papa. Entah apa yang sedang ia bicarakan kepada Papa.
Revan–si hantu kecil tertawa saat melihat wajahku sudah pucat pasif. Menunggu keputusan dari Papa.Teman macam apa dia?
Suka melihat temannya menderita. Revan adalah hantu penunggu pohon mangga di dekat rumahku. Dia adalah hantu yang berwujud anak kecil.
Rambutnya cepak dan selalu memakai baju Belanda. Mata birunya sangat indah walaupun tatapannya kosong. Namun, ada luka lembab di sekujur tubuh Revan.
Hanya Revanlah teman karibku satu-satunya. Meski kami berbeda dimensi. Namun, aku benar-benar sudah akrab dengannya sejak kecil. Karena tidak ada teman manusia yang mau berteman denganku.
Aku terus tumbuh dewasa, tetapi tidak dengan Revan. Ia tetap mempertahankan wujudnya itu. Meski ia bisa mengubah wujud menjadi apa pun. Katanya hantu itu harus konsisten dalam wujudnya. Hahahaha ... ternyata hantu juga bisa ngelawak.
Sepertinya Revan memang harus dilempar sepatu deh. Dari tadi ia terus tertawa dengan suara khas anak kecil. Seperti setan tidak jelas. Ya masa aku mengatainnya orang tidak jelas.
Kadang-kadang ia memainkan lidahnya agar menjadi panjang. Atau berterbangan melingkari Papa dan Mama yang sedang beruding. Dan kali ini ia melepaskan mata birunya itu.
Emangnya aku takut apa dengan leluconnya itu. Awas saja aku lempar dia pakai sepatu. Biar tahu rasa ... Meskipun bakal tidak akan kena. Setidaknya Revan akan terkejut dengan tindakanku.
Bruk ....
Revan terjatuh dari dinding karena lemparanku. Hahahaha .... rasakan balasanku. Tunggu ... tunggu ternyata Revan hanya memainkan diriku saja. Saat terjatuh kepala dan tubuhnya terpisah jauh. Kepala Revan bergelinding untuk. menghampiriku.
"Kenapa Kakak melemparku dengan sepatu?" tanyanya sembari meringis. Menunjukkan gigi taringnya yang ia buat.
Dasar nakal ...! Revan selalu saja menggodaku. Bukannya Revan sama seperti makhluk lain itu yang selalu mengganguku. Namun, Revan lebih membuatku berani untuk melihat mereka.
Aku memang tidak pernah takut dengan mereka. Hanya merasa terganggu saja dengan kejahilan-jahilan mereka.
Sejak kecil Revan selalu mendampingiku untuk menghadapi mereka. Dengan berbagai wujud aku selalu berani melihat mereka. Revan memang selalu menampakkan berbagai wujud seram padaku. Agar aku tidak kaget saat melihat wujud-wujud yang lebih menyeramkan lagi.
"Papa lihat sendiri kelakuan putri kita. Hanya itu cara dan jalan satu-satunya, Pah," desak Mama kepada Papa agar melakukan idenya.
"Tidak ... papa paling anti dengan begituan. Nadya hanya memiliki imanijasi yang tinggi seperti anak-anak," jawab Papa sepertinya aku tahu apa rencana Mama. "Itu kata para psikater yang kita datangi dulu. Mama ingat, kan?"
Mama menggigit bibir mencari bahan alasan. Untuk menyakinkan Papa agar mengikuti rencananya. Aku harap Papa tetap pada pendiriannya. Semoga saja aku tidak dimasukan pesantren.
Sejak dulu Mama memaksa Papa agar aku dimasukkan di pesantren. Semenjak aku suka berkomunikasi, bermain, dan tertawa sendiri. Ia mendapatkan ide itu dari teman sosialitanya.
Aku tidak ingin berbaur dengan orang lain. Karena pastinya diri ini hanya akan dijadikan bahan bullyian mereka. Menganggapku sebagai orang gila atau halu. Hanya membuat hati ini sakit saja.
"Coba pikirkanlah kejiwaan putri kita, Pah! Sudah berbagai cara sudah kita lakukan demi kesembuhanya." Isak Mama tertahan ketika melihatku. "Tapi semuanya nihil tinggal cara ini."
Papa terdiam sejenak lalu memandangku yang sedang bercanda dengan Revan. Mungkin sekarang Papa melihatku tertawa sendiri. Nyatanya aku tidak sendirian.
"Baiklah kita akan coba cara itu, Mah." Keputusan Papa benar-benar membuatku terkejut.
What?
Bersambung
![](https://img.wattpad.com/cover/217224443-288-k720190.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesantren Untuk Gadis Indigo
HumorKisah cinta antara Gus Yusuf, Nadya, dan Ruqayah