part 9

5.6K 480 58
                                    

"Bagaimana sah?"

"Sah!"

"Alhamdulillah...."

Aku tersenyum sendiri, teringat acara akad kemarin. Jadi, kemarin acara akad nikah diadakan di rumah sakit.

Lumayan bikin spot jantung, untungnya nggak ada adegan salah sebut nama dan sebagainya seperti sinetron.hihihi...

Sekarang, aku memang masih berada di rumah sakit. Belum bisa pulang karena kondisi tidak memungkinkan. Setelah semalam akhirnya bertemu dengan a' Rifqi selepas acara akad dan menandatangani beberapa berkas akhirnya A' Rifqi pagi tadi pergi ke acara resepsi.

Undangan sudah terlanjur disebar, tidak mungkin jika harus diundur. Jadilah a'a Rifqi mengurus para tamu disana. Dan aku masih di rumah sakit.

"Hus! Senyum - senyum aja dari tadi."

Aku terkekeh pelan, itu suara Yusuf udah hampir hilang. Tapi masih saja rese.

Aku menelisik, wajah Yusuf kusut dan agak berantakan untuk seukuran pria metroseksual seperti Yusuf.

"Bagaimana hati kamu?" Tanyaku dengan menatap Yusuf iba. Duh, siapa sih yang berani nolak pesona pria terganteng, terkaya dan terabsurd abad ini?

Yusuf hanya mengangkat bahu, kemudian dia menggigit apel ditangannya.

"His! Jorok, dicuci dulu," tegurku.

Dia ini kebiasaan, terbiasa manja jadi begini. Pas aku sakit begini jadi nggak ada yang nyuciin buah buat dia.

"Cuci dulu! Ih, malahan dihabiskan itu."

Yusuf justru terkekeh, matanya sedikit berkaca - kaca. Duh, aku tahu saat ini dia butuh sandaran. Meskipun dia mencoba terlihat baik - baik saja.

"Dek, kamu ngga papa kan? Sabar ya. Nanti tati Enab carikan jodoh," kataku.

Yusuf menggeleng, dia mengusap kepalaku dan tersenyum tipis.

"Katanya bukan generasi bucin, jangan mellow dong."

Ini aku maksudnya mencoba menghibur Yusuf, tapi justru malahan menangis begini. Nyesek banget loh ini lihat dede Ucup tersayang kacau dan patah hati begini.

"Kamu jangan pergi."

Akhirnya tiga kata itu meluncur juga dari mulutku, aku sudah menangis sesegukan. Aku terbiasa berada di sekitar Yusuf. Aku terbiasa apapun mengandalkan Yusuf. Aku nggak bisa bayangin apa jadinya aku tanpa Yusuf.

"Tati, Yusuf cuma mau ngelanjutin kuliah saja. Biar  bisa jadi profesor muda loh ini."

Aku menggeleng keras, aku menggenggam tangan Yusuf menggunakan sebelah tanganku yang bebas.

"Tati harus mendiri, sekarang sudah jadi istri. Tati harus terbiasa tanpa Yusuf, akan ada saatnya tati nggak akan bisa selalu bersama Yusuf."

Aku menggeleng lagi, ini dia ngomong sudah ngelantur kemana - mana.

"Tati nggak bisa."

Aku menangis sesegukan, dadaku rasanya terhimpit. Perih, sedih luar biasa. Seharusnya hari ini adalah hari bahagiaku. Tapi entah bagaimana rasanya aku seperti kehilangan separuh nyawaku.

"Yusuf," bisikku lirih.

Yusuf mengusap punggung tanganku menggunakan ibu jarinya lembut, aku menatapnya intens.

"Tati harus janji bahagia selalu," bisik Yusuf lirih yang masih bisa aku dengar.

Ya Allah...
Kenapa patah hati bisa sangat menyakitkan begitu?

Tatapan terluka itu, yang tidak pernah aku lihat seumur hidupku.

Bagaimana pria sebaik Yusuf merasakan patah hati sebegitu hebatnya?

"Kamu jangan pergi, nanti siapa yang bakalan ngurusin kamu?"

"Dih, Yusuf kaya raya. Bisa sewa orang buat apa saja. Asisten yang seribu kali lebih rajin dari Tati dan nggak bawel kaya Tati."

Mendengar perkataan Yusuf langsung aku memukul lengannya.

"Sakit, dih ganas."

Aku mendelik melihat Yusuf yang meringis. Dia terkekeh pelan.

"Kok bisa sampai sakit begini sih?"

"Sakit ya sakit aja. Lagian kamu loh patah hati sama siapa? Sampai susah banget dihubungi. Tati khawatir."

Kali ini aku sudah nggak bisa membendung lagi air mataku. Rasanya Yusuf seperti sengaja menjauh dariku.

"Udah ah, tuh mempelai lelaki dateng."

Aku menengok ke arah pintu,

"Assalamualaikum."

Jantungku rasanya merosot, deg - degan luar bisa. A' Rifqi masih pakai pakaian formal, celana hitam beserta jasnya.

Itu wajahnya cerah banget, ganteng maksimal itu orang. Eh, emang nggak pernah jelek sih A' Rifqi.

"Wa'alaikum salam. Masuk A' ."

Aku sedikit tergagap, sampai lupa menjawab salam.

"Wa'alaikum salam."

Akhirnya aku menjawab dengan suara lirih. Aku semakin gugup, senyum lembutnya itu bikin lumer deh.

"Gimana kondisinya, dek?"

Tuh kan, suaranya berat rendah gitu. Merinding dengar suaranya aja aku tuh. Haduh, bucin  emang dasar aku.

"Tati, ditanya itu."

"Ba-baik."

A' Rifqi sudah duduk di bangku sembari menatapku intens.

"Lah pengantinnya disini semua. Itu pelaminan kosong?"

Pertanyaan Yusuf membuat aku mengernyit, tapi benar juga sih.

"Lah, tamunya bagaimana 'A?"

"Ada yang disana kok. Banyak yang mewakili kita. Yang penting kamu sehat dulu, dek "

Aku tersenyum, pasti wajahku memerah ini. Lah, baru ada loh ini. Acara pengantinnya kok ya pasangan pengantinnya loh malah pada ngilangin dari pelaminan. Nggak keren ini mah.

"Yusuf pergi dulu, ya. Mau ada perlu."

Aku menatap Yusuf, tanganku makin mempererat genggaman. Yusuf terkekeh geli.

"Ini loh, A' istrinya butuh tongkat hansip kayaknya."

Aku sontak menatap Yusuf dan menatapnya tajam, Yusuf semakin terbahak. Ini padahal suaranya udah hampir habis tapi masih saja julid ya.

"Buat apa?"

Aku memerah cuma mendengar A' Rifqi bertanya begitu. Aku menggeleng panik.

Mereka berdua malahan tertawa kompak. Nah, makin kesel deh.

"Ini pegang tangan Yusuf kenceng banget, bisa patah tulang ini. Kalo A' Rifqi yang gantiin bisa dikira KDRT nanti."

Aku cemberut, makin kesel aku sama Yusuf.

"Nggak masalah, ini dek remas tangan A'a saja."

Sekarang A'Rifqi malahan menyodorkan tangannya. Aku malu lah,

"Ummah ... Malu..."

"Hahaha..."

Yusuf makin terbahak, sedangkan A'a malahan tersenyum tipis.

"Lah, denger ya," gumamku pelan.

"Dengarlah, Tati ngerengek keras begitu."

"Hah?"

Haduh, aku keceplosan teriak tadi. Aku pikir cuma dari dalam hati loh tadi.

Ayah, malunya .....


.
.
.
.
.
.
.

CINTA ZAENABTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang