Hari masih sangat pagi, setidaknya untuk ukuran seorang Alvin yang sejak beberapa menit lalu sudah berdiri ditepi perempatan sambil terus merutuki segala sesuatu yang menimpanya. Mulai ia harus bangun lebih awal dari biasanya, asap kendaraan yang tak bersahabat, betapa kotornya tempat itu, dan tentu saja sosok Agni yang belum juga kelihatan batang hidungnya. Alvin sangat tidak menyukai hal yang dinamakan menunggu. Time is everything menurutnya.
Entah sudah untuk yang keberapa kalinya setelah ia berdiri ditempat dimana Agni menyuruhnya untuk menemui gadis manis itu Alvin kembali melirik jam tangan buatan Swiss yang melingkar di pergelangan tangannya. Dan lagi-lagi ia berdecak kesal.
"Hoy!" Seru Agni sambil menepuk keras bahu Alvin dan kemudian tertawa lepas.
"Nggak usah sok akrab gitu deh!" Balas Alvin sinis.
"Buset! Lo itu udah manja, sombong, galak lagi! Emak lo ngidam apa sih dulu? Ckck." Cerosos Agni tanpa titik koma.
"Elo, udah dekil, cerewet, nggak on time lagi! Nggak ngaca lo ngatain orang?" Agni menghela nafas, berharap semua emosi yang ditahannya juga ikut keluar tanpa kebrutalan. Perlu kesabaran lebih sepertinya untuk menghadapi Alvin.
"Suka-suka elo lah! Mending lo titipin mobil lo dibengkel pakde gue noh!" Peritah Agni sambil menunjuk sebuah bengkel yang berukuran tidak terlalu besar dan letaknya hanya beberapa meter saja dari tempat mereka berdiri sekarang.
"Serius nggak papa? Nggak bakal lecet mobil gue? Ilang lo mau ganti?"
"Gue tambalin kalo lecet! Gue ganti kalo ilang!" Jawab Agni gemas.
"Pake apa? Mahal tu!"
"Pake aspal! Puas lo? Buruan bisa nggak sih? Lelet!"
Tak ingin berdebat lagi, Alvin menuruti perintah Agni dengan malas-malasan. Tak berapa lama Alvin kembali menghampiri Agni.
"Ikut gue!" Perintah Agni sekali lagi.
Sambil bersiul riang Agni berjalan menyusuri trotoar. Langkahnya begitu ringan seperti seorang bocah cilik yang baru mengenal dunia. Dari belakangnya, Alvin mengikuti dengan senyum terukir di bibirnya. Gadis yang sangat berbeda menurutnya, tomboy tetapi begitu cantik, kuat dan tegas namun juga terlihat manja.
****
Setelah melewati jalan setapak yang membelah sebuah perkampungan kumuh, Alvin dan Agni sampai ke sebuah pondok. Bangunan itu cukup besar bila dibandingkan dengan bangunan lain di sekitarnya, namun tetap kecil dimata Alvin, karena bangunan itu bahkan tak lebih luas dari kamar pribadinya.
Setelah sadar dari ketersimaannya, Alvin menatap nanar sekaligus jijik pada sneakers putihnya yang kini bertambah aksen bintik-bintik cokelat dari cipratan lumpur yang diinjaknya secara tidak sengaja saat tadi melewati gang sempit, selain itu sepatu kesayangannya itu kini menjadi tidak nyaman dipakai karena alasnya terganjal tanah liat yang menempel. Agni tertawa kecil melihat apa yang sedang dilakukan Alvin. Namun sepersekian detik berikutnya ia sudah sibuk mencari sesuatu di bawah sebuah rak buku panjang. Sepasang sandal jepit dengan merk yang sama dengan sebuah produk agar-agar kini sudah berada di tangannya.
"Pake ini! Besok kalo ke sini lagi jangan pake sepatu mahal!" Ucap Agni sambil menyodorkan sepasang sandal yang dibawanya dihadapan Alvin. Dengan polosnya Alvin memamerkan deretan giginya sambil menerima pemberian Agni.
"Ag, ini rumah lo?" Tanya Alvin seraya mengganti sepatunya dengan sandal.
"Bukanlah! Ini cuma pondok tempat anak-anak kecil disekitar sini ngumpul, buat belajar baca, tulis, ngitung, belajar musik." Jawab Agni panjang lebar sambil menata beberapa buku yang berceceran di lantai.
