"Bukain dong, Pak!" Rajuk Sivia pada satpam sekolah yang baru saja menutup pintu gerbang besar jalan utama memasuki SMA Putra Buana. "Saya ada ulangan hari ini, please!"
"Tidak! Kamu tidak tau aturan sekolah?" Tolak Pak Dirman sang satpam sekolah yang berperawakan pendek dengan perut yang buncit, kulitnya sawo matang, tak seperti kebanyakan penjaga yang kulitnya berwarna hitam karena terbakar matahari. Namun pria yang berusia sekitar empat puluh tahunan itu bersuara menggelegar dan bisa saja membuat pendengarannya ketakutan sebelum melihat rupanya.
Sedikit cerita Sivia terjebak macet karena tiba-tiba saja diadakan perbaikan jalan didekat rumahnya yang membuatnya harus berputar arah untuk sampai disekolah padahal jaraknya hampir dua kali lipat dari yang biasa ia tempuh. Ditambah ia bangun cukup siang hari ini dan telak gerbang sekolah terlah tertutup rapat. Gerbang itu biasanya ditutup lima menit sebelum pelajaran dimulai tepat pukul tujuh pagi.
"Tapi saya ada ulangan Pak. Em.. Bapak boleh ambil bekal saya deh." Sogok Sivia sekali lagi sambil menyodorkan tempat makan berwarna ungu muda berisi bekal makan siangnya berharap banyak jika permohonannya akan diluluskan oleh Pak Dirman.
"Kamu ini! Mau jadi apa Indonesia kalau penerusnya saja sudah main sogok seperti kamu? Biar Bapak cuma satpam pantang bagi Bapak korupsi!" Jawab Pak Dirman panjang lebar disusul menyulut ujung batang rokok yang telah ia sisipkan dibibirnya. "Saya ke pos dulu, baca koran."
Sivia mendengus frustasi. Ia menggigit bibir bawahnya mencari sebuah ide agar bisa masuk. Nihil. Tak satupun ide yang tercipta diotaknya. Sampai suara motor sport yang cukup bising mengganggu lamunannya dan membuat perhatiannya beralih ke si pengendara motor.
"Ck! Udah gue tekatin juga malah udah ditutup!" Gumam si pengendara motor yang kini telah berdiri disamping Sivia sambil menggenggam jeruji gerbang mungkin ia berharap ada keajaiban jika dengan sentuhannya itu gerbang akan terbuka.
Mata sipit Sivia memicing membuatnya hampir menjadi seperti garis lurus.Tatapan yang mungkin berarti sedikit em.. jijik setelah menyadari siapa pria berkulit putih yang berdiri tegap disampingnya.
"Lo liatin gue bisa biasa aja enggak?" Tegur orang itu.
"Cih! Siapa yang liatin elo?" Elak Sivia.
Dia kembali melongokan kepalanya ke dalam pos satpam mencari keberadaan Pak Dirman.
"Cih! Nggak usah sok jijik sama gue gitu deh! Posisi kita sama Nona, tapi setidaknya gue lebih pinter dari lo."
"Maksud lo apaan, Vin?" Hardik Sivia tak terima dengan perkataan laki-laki tadi yang ternyata adalah Alvin.
"Lo suka kan sama Gabriel? Dan gue lebih pinter karena gue mau perjuangin cinta gue nggak kayak elo udah pecundang, munafik pula." Jawab Alvin dengan santainya sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku belakang celana seragamnya benda yang semakin menambah kentara tatapan jijik dari mata Sivia. Kotak rokok. Gadis berpipi gembul itu terdiam otaknya seakan dipaksa untuk membenarkan apa yang Alvin katakan. Namun gensinya juga tak mau kalah terlebih dengan sosok didepannya yang tidak lain adalah orang yang selalu menyakiti sahabatnya.
"Sok tau, lo!" Balas Sivia sedikit terbata.
"Pak! Gue kasih rokok bukain dong!" Seru Alvin tanpa mempedulikan jawaban Sivia. Berkali-kali ia meneriakan sebuah merk rokok terkenal yang ia tahu adalah merk kegemaran Pak Dirman.
"Yang kemarin masih, le! Makasih!" Jawab Pak Dirman dengan logat Jawanya tak sedikitpun perhatiannya beralih dari koran ke Alvin.
Mata Sivia melotot, apa-apaan penjaga sekolahnya itu tadi dia bilang kebal sogokan nyatanya mau saja menerima sogokan Alvin kemarin. Sedetik kemudian ia tertawa kecil karena ekspresi wajah Alvin.