Seorang pria kecil dengan susah payah menaiki tempat tidur king size yang di selimuti bed cover berwarna krem. Ia sudah jatuh berkali-kali karena yang ia panjat terlalu tinggi, namun ia tetap tak mau menyerah begitu saja.
Sekarang separuh badannya sudah ada di atas, pekerjaan mudah untuk mengangkat kakinya. Dengan riang gembira bocah dua tahun itu merangkak ke arah gundukan selimut tebal di tengah tempat tidur.
"Pa..." seru bocah itu, tangan mungilnya menarik selimut yang menutup penuh tubuh seseorang hingga ke ujung kepala dengan sekuat tenaga.
"Pa..." ulangnya lagi karena tak berhasil mendapat perhatian. Usahanya berhasil menarik kain tebal yang begitu berat untuknya hingga ke dagu laki-laki yang masih memejamkan matanya dengan tenang.
"Papa..." sekali lagi, dengan begitu gemasnya anak itu berteriak. Kali ini dengan usaha menepuk-nepuk pipi sang ayah.
Pria dewasa yang baru saja mendapat serangan fajar perlahan membuka kelopak matanya. Amarahnya yang sempat terkumpul karena tidur nyenyak yang jarang ia dapatkan selama lima hari kerja terganggu langsung musnah begitu saja saat melihat putranya terkekeh bahagia karena tujuannya untuk mendapat perhatian tercapai.
Dua tangan mungil nan lembutnya kini beralih pada bibir dan hidung sang Ayah. Mata pria kecilnya nampak hampir hilang di telan pipi gembul putihnya, benar-benar seperti bakpao hidup siap makan.
"Arjuna Haling, kamu kemana, Sayang?" sebuah suara halus melengking tinggi dari luar kamar membuat sang Ayah menegakkan tubuhnya dengan bantuan kedua sikunya kemudian duduk berhadapan dengan putranya.
"Heh, Tuan muda Haling, kamu kabur lagi dari Mama mu?" walau masih dengan suara parau, pria tadi berakting marah.
Arjuna, nama si bayi, mengedipkan kelopak matanya yang mulai sayu seolah mengerti apa yang di katakan ayahnya. "Ya, Tuhan. Kenapa Mama mu mewariskan jurus menyebalkan itu?" dengusnya.
Jurus puppy eyes Arjuna mirip sekali dengan Ify, membuatnya tak pernah tega untuk marah.
"Aku bercanda." ucapnya kemudian. Kedua tangan kekarnya terulur untuk memindahkan tubuh mungil Arjuna ke pangkuannya.
Tak puas, ia menggamit tubuh itu dan menerbangkannya ke udara, sampai perut buncit nan menggemaskan Arjuna berada tepat depan wajahnya yang kemudian ia tenggelamkan di sana, bergerak kiri-kanan dengan cepat membuat balita itu tergelak.
Seorang wanita menyandarkan bahunya di daun pintu, melihat aktivitas pagi dua orang pria yang paling ia cintai di dunia. Senyum tipis terukir di wajahnya. Ia adalah wanita paling bahagia di dunia karena Rio dan Arjuna percaya padanya untuk mendampingi setiap langkah mereka.
"Arjuna! Papamu butuh istirahat!" wanita tadi mengomel setelah mengingat apa tujuannya.
Ia tak pernah tega membangunkan Rio saat weekend seperti ini. Pekerjaannya benar-benar menguras waktu, bangun pagi dan pulang larut malam selama lima hari penuh. Tapi sepertinya putranya tak pernah peduli, bisa di mengerti karena waktunya dengan sang Ayah sangat minim, ia pasti merindukannya, sama seperti dirinya. Wanita itu bergerak naik ke tempat tidur, duduk di sebelah laki-laki yang sudah resmi menjadi suaminya sejak tiga tahun lalu.
"Kamu benar-benar seperti Papa mu, tidak tahu aturan. Suka kabur sembarangan." ucapnya sambil menciumi pipi tembam anaknya.
Selain fisiknya yang benar-benar miniatur Rio, matanya, bibirnya, lekukan wajahnya. Kata Krishna Haling, Ayah mertuanya, Arjuna benar-benar seperti Rio kecil dulu. Tapi kata Sivia, Arjuna beruntung karena mewarisi hidung bangir ibunya.
Sahabatnya itu bilang, saat SMA nanti Arjuna pasti akan jauh lebih tampan dari Ayahnya. Semakin besar, ternyata anak itu mewarisi sifat sang Ayah juga. Ify sadar penuh akan hal itu. Arjuna suka berbuat sesukanya, pergi kemana pun dia mau, perlu tenaga ekstra untuk menjaga balita itu sejak ia bisa merangkak.
