"Renjun-ah, ayo masuk dulu nak," Ibu Nakyung menyambut kedatangan sang menantu yang mengantar pulang putrinya, Nakyung.
"Ibu, kau tidak menyambutku," rengek Nakyung melihat ibunya lebih peduli pada Renjun. Ia jadi mempertanyakan, siapa yang anak dan siapa yang menantu disini kalau melihat sikap ibunya tadi.
Pagi-pagi benar tadi di apartemen mereka, Renjun sudah membantu Nakyung mengemas barang dan segera mengantarnya ke kediaman yang sudah Nakyung tinggali sejak kecil. Selama itu, tidak ada raut kesal, marah atau apapun yang Nakyung lihat di wajah Renjun. Bahkan Renjun masih dengan menyiapkan sarapan untuk Nakyung, memastikan Nakyung meminum obatnya seperti biasa, selayaknya tidak pernah ada masalah apa-apa di antara mereka.
Tetapi, justru sikap Renjun yang seperti itu yang membuat rasa bersalah dalam diri Nakyung semakin menjadi. Nakyung lebih mengharapkan Renjun mengomelinya, membentaknya atau apapun karena Nakyung merasa pantas menerima itu semua. Jika Renjun diam begini, Nakyung malah semakin tidak enak.
"Renjun tidak mau mampir dulu?" tawar sang ibu ketika Renjun sudah selesai memindahkan semua barang Nakyung ke kamar.
Renjun dengan sopan menolak,"aku masih ada pekerjaan. Nanti aku akan cari waktu untuk mengunjungi ibu."
Renjun pun pamit pada mertuanya tapi tidak pada istrinya. Ia berjalan melewati Nakyung begitu saja. Seakan Nakyung memang tidak pernah ada disana.
Seiring punggung Renjun yang menjauh, hati Nakyung merasakan sesak yang begitu asing.
Bukankah ini yang Nakyung inginkan dari awal?
–🌼–
Keadaan Renjun setelah memulangkan Nakyung ke kediamannya tidak lebih baik dari sebelumnya. Berpisah dengan Nakyung seperti ini adalah hal yang tidak Renjun harapkan. Namun sayangnya, situasi sudah memaksa. Jika Renjun terus menahan Nakyung untuk tetap bersamanya, Nakyung tidak akan ada perkembangan. Perempuan itu hanya akan semakin merasa tertekan.
Renjun sedari tadi sudah susah payah menahan dirinya untuk tidak kembali menjemput Nakyung. Ia sadar, ia harus melakukan ini walau berat. Ia tidak boleh egois.
Malam ini, Renjun hanya bertemankan sebotol wine merah yang sedang ia teguk di gelas kacanya. Meski ada rasa kecewa atas apa yang Jeno ceritakan padanya mengenai Nakyung dan Hyunjin, Ia tetap merindukan Nakyung.
Renjun tidak tahu, mana yang lebih baik. Tinggal bersama Nakyung ketika perempuan itu sama sekali tidak mengingatnya atau hidup tanpa Nakyung di sisinya seperti ini.
Tapi sekarang, ia rasa ia sudah menemukan jawabannya.
Rasa bersalah kembali merundung Renjun saat ia kembali mengingat wajah Nakyung yang memohon padanya untuk tidak dipulangkan. Ia merasa bersalah. Nakyung tentu merasa Renjun sudah menyerah atasnya.
Suara ketukan pintu apartemen mengusik waktu minum Renjun. Di waktu semalam ini, siapa yang bertamu? Untung saja Renjun belum mabuk.
Saat membuka pintu, Renjun seketika ingin menutupnya lagi. Sayang, sang tamu lebih cepat menahannya.
"Renjun, aku mau bicara."
"Hyunjin, pulanglah. Kau tidak ada urusan disini," usir Renjun dengan nada bicara dan tatapan yang dingin.
"Tidak, aku sudah dengar dari Kak Taeyong kalau kau tadi pagi memulangkan Nakyung ke rumahnya," ucap Hyunjin tak menyerah.
"Kak Taeyong harus belajar untuk tidak mencampuri urusan orang lain," komentar Renjun menanggapi Hyunjin.
"Ia kakak Nakyung, wajar jika ia mau turun tangan. Kau sendiri paham bagaimana Kak Taeyong itu."
Ya, sebagai dua lelaki yang mencintai Nakyung. Renjun dan Hyunjin sudah sama-sama mengalami betapa merepotkannya berurusan dengan kakak protective seperti Taeyong. Lelaki tampan itu sangat menjaga adik perempuan semata wayangnya, menjalankan apa yang ayah mereka amanatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
REMEMBER
Fanfiction[𝗖𝗢𝗠𝗣𝗟𝗘𝗧𝗘𝗗] WARNING 21+ Nakyung tidak dapat mengingatnya. Mau dipaksa seperti apapun, kenangan dan potongan ingatan mengenai pemuda asing yang adalah suaminya ini sama sekali tidak kembali. Huang Renjun yang Nakyung tau hanyalah adik tingka...