11 - frustration

1K 123 17
                                    

Sedari awal Nakyung sudah menaruh curiga saat melihat pintu di di ujung lorong tersebut. Benar saja, ternyata memang Renjun menyembunyikan sesuatu di balik pintu itu. Ruangan di baliknya bukanlah gudang seperti yang Renjun katakan Nakyung dahulu.

Ruangan berdebu dengan dinding yang sudah dilukis sedemikian rupa selayaknay kamar anak terlihat begitu suram. Debu sudah cukup tebal, menandakan bahwa ruangan ini sudah cukup lama terbengkalai.

Bisa Nakyung lihat disana sudah terdapat beberapa perlengkapan bayi. Ranjang bayi, mainan-mainan bahkan lemari dengan design menggemaskan. Seharusnya kamar anak tidak sesuram ini suasananya dan semestinya Nakyung tidak merasa sesak memandangi ini semua.

Dengan kaki yang sudah melemas melihat ini semua, Nakyung tetap berusaha melangkahkan kaki jenjangnya di ruangan tersebut. Tak peduli dengan tebalnya debu disana. Pandangan dan tangannya menyusuri seluruh sudut ruangan.

Berlahan kepingan ingatan di kamar ini mulai muncul di benak Nakyung, seakan memaksa masuk ke dalam kepalanya.

Tawa yang ia bagi bersama Renjun selama mengecat ruangan tersebut, perdebatan tidak penting menentukan warna yang sesuai dengan sang calon anak yang sayangnya tidak pernah hadir ke dunia.

"Bukankah kamar ini terlalu heboh untuk seorang anak lelaki?" Nakyung ingat pertanyaan yang ia ajukan pada Renjun di salah satu siang yang hangat kala itu.

"Memangnya siapa yang bilang anak kita laki-laki? Aku masih mengharapkan anak perempuan," sahut Renjun sebelum kembali berkutat meneruskan lukisan di dinding kamar.

Sekeping ingatan itu saja sukses membuat nafas Nakyung tercekat. Air matanya tak bisa ia bendung lagi.

Rasa bersalah memenuhi hati Nakyung.

Berlahan, Nakyung mengelus perut ratanya seakan mencari keberadaan sang jabang bayi yang ia yakini sudah tak disana lagi.

"A-aku gagal, a-anakku..." lirih Nakyung yang sudah merosot terduduk di tengah ruangan penuh sesak debu tersebut.

"Ibu macam apa aku..." gumam Nakyung memeluk tubuhnya sendiri yang bergetar seiring isakan tangisnya yang semakin jadi.

"Aku melupakan anakku sendiri..." kini kepala Nakyung mulai terasa sakit. Kepalanya seperti terhantam batu besar, sakitnya begitu menyiksa. Kepingan demi kepingan ingatan Nakyung yang lain mulai berdatangan kembali.

Nakyung ingat senyuman yang ia berikan pada Renjun saat berpamitan di hari dimana kecelakaan terjadi. Ia ingat hujan deras dan jalanan licin yang ia lalui, semuanya seakan seperti sebuah film yang berputar jelas di pikiran Nakyung.

Nakyung ingat bagaimana rasa bahagianya sepulang dari mengunjungi Renjun. Kala itu, ia sedang dalam perjalanan menuju klinik untuk memeriksa kandungannya.

Namun Nakyung tidak pernah tiba di klinik yang menjadi tujuannya.

Sebuah truk besar dari arah berlawanan berhasil menyerempet mobil Nakyung, menyebabkan mobilnya oleng dan menabrak pembatas jalan. Satu yang pasti, Nakyung ingat bagaimana ia berusaha melindungi calon bayinya yang masih berkembang.

Ingatan itu sangat jelas, bahkan terlalu jelas. Saking jelasnya, Nakyung bisa merasakan rasa sakit yang ia rasakan saat itu.

Nakyung merintih kesakitan sambil mencengkeram kepalanya. Semua ingatan satu persatu seakan menyerbu kepala Nakyung, menimbulkan rasa sakit yang teramat sampai-sampai Nakyung berakhir tidak sadarkan diri di dalam ruangan tadi.

-🌼-

Gladi bersih resepsi sedang berlangsung. Semua orang-orang terdekat yang diajak terlibat oleh Nakyung hadir semua hari ini. Masing-masing melakukan bagian mereka dengan baik. Mereka nampaknya sangat antusias bisa menjadi bagian dari hari penting seorang Lee Nakyung dan Hwang Hyunjin.

REMEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang