Alsen mengutuk dirinya sendiri. Menyentuh kedua pundak Flora adalah keputusan yang salah. Entahlah, sudah berapa lama ia tidak pernah bersentuhan fisik dengan seorang wanita. Dan itu membuat reaksi berlebihan dalam dirinya.
Hanya menyentuh bahu, namun mampu membuat Alsen hampir gemetar dibuatnya. Oke, itu berlebihan, tetapi Alsen berani bersumpah jika ia lebih memilih berhadapan dengan pembunuh paling kejam di dunia daripada harus bertatap muka dengan Flora seperti kali ini.
Bahu yang tidak tertutup kain itu terlihat indah. Napas Alsen mulai tidak beraturan, menatap wajah Flora yang telah basah oleh rintik hujan. Tetesan air mengumpul di dagu lentik Flora, lantas dengan cepat meluncur ke bawah, mengalir dan bermuara tepat ke sebuah celah di antara kedua dadanya. Sangat menggiurkan!
Tanpa sadar, Alsen mencengkeram bahu Flora dengan lembut. Mata tajamnya tidak lagi tertuju pada celah yang menggoda itu, ia lebih memilih untuk membalas tatapan memelas Flora. Gadis sombong yang pada akhirnya takut mati terbunuh.
"Aku percaya padamu," lirih Flora lagi.
Flora maju selangkah, lebih mendekat pada bodyguard-nya. Jemari lentiknya enggan terlepas dari kemeja Alsen. Napasnya terengah-engah, sentuhan Alsen membuat bagian di dalam dirinya memberontak. Kemeja putih yang dikenakan Alsen telah basah kuyup, guratan-guratan otot tubuh di balik pakaian itu terpampang nyata. Tubuh tinggi tegap itu terlihat sangat seksi!
Entah apa yang sebenarnya tengah mereka rasakan. Dan sepertinya Alsen bahkan mulai lupa siapa gadis di hadapannya. Gadis itu, nona cantiknya. Seseorang yang seharusnya ia jaga dan ia hormati. Namun, bagaimanapun juga Alsen adalah pria normal.
Kontak fisik dalam situasi seperti sekarang ini, membuat sesuatu di dalam dirinya memberontak. Ia mulai kehilangan akal sehat. Sudah kepalang basah, terjun saja sekalian. Bukankah nona cantik ini yang memulai terlebih dulu?
Perlahan, sentuhan Alsen beralih ke leher jenjang berkulit mulus itu. Alsen harap Flora akan memberontak dan menamparnya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Mata cokelat Flora menatap Alsen pasrah, sepasrah ia menyerahkan nyawa dalam genggaman bodyguard-nya.
Ya, anggaplah Flora gila. Bukannya menghindar, gadis itu justru memberikan peluang semakin besar pada Alsen untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar sentuhan di kedua pundak dan leher. Come on, I'm yours!
"Maaf, Nona."
Tubuh Flora menegang. Maaf? Untuk apa? Maaf karena Alsen berani menyentuhnya? Atau kata maaf itu merupakan sebuah izin karena Alsen ingin ... menciumnya? Entahlah, Flora tidak bisa mencerna ucapan Alsen. Hanya saja, ia melakukan hal yang lebih gila lagi. Kedua lengannya mengalung di leher Alsen.
Baiklah, nampaknya mereka mulai melupakan situasi yang beberapa menit lalu terjadi. Mengabaikan nyawa yang sedang menjadi incaran para penjahat di sekitar mereka. Yang mereka rasakan hanya satu, gairah itu mulai memercik dan membakar tubuh keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Shadow of Black Rose
RomancePeristiwa pembunuhan kedua orang tuanya, membuat Romeo bersikap waspada. Ia pun menyewa seorang bodyguard terlatih untuk melindungi saudara kembarnya, Flora. Namun, Flora justru membenci kehadiran sang bodyguard. Ia merasa kehidupan pribadinya mulai...