"Adit, Bunda kok pengen martabak ya?" Gumam Risa melihat Adit yang masih menonton televisi.
Adit menatap Bundanya sejenak. "Kalau gitu Adit beliin ya."
Risa menggeleng cepat, "Ini udah malam, gak usah deh."
Adit mendengus kesal. "Bun, Adit bukan perawan kali. Tenang aja." Risa yang mendengarkannya hanya terkekeh geli. Lalu Adit pergi ke kemarnya, mengambil hoodie merah maroon. Kaca mata yang biasa ia pakai, kini juga dilepas. Adit memang memiliki penyakit miopi atau lebih sering disebut rabun jauh. Namun belum sampai parah, pengelihatannya juga masih baik-baik saja. Tapi ia menggunakan kacamata dikala sekolah, karena matanya tidak bisa menangkap deretan tulisan secara jelas.
Adit menutup pagar rumahnya yang berwarna hitam. Cowok itu berencana beli martabak dekat minimarket di kompleksnya. Tidak menunggu lama, akhirnya Adit mendapatkan martabak. Ya ini semua karena sudah hampir larut malam, jadi wajar sudah sepi.
Adit berjalan kaki melewati jalanan kompleksnya yang sepi. Langkahnya terhenti dikala melihat seorang perempuan dengan baju kurang bahan itu, berjalan terseok-seok. Penampilannya sangat berantakan. Adit mengikutinya dari belakang, ia agak familiar dengan perempuan itu. Dari gaya rambut perempuan itu, seperti gaya rambut Sheila. Rambut Sheila yang panjang, lurus, dan ujungnya berwarna merah. Adit semakin yakin jika perempuan itu adalah Sheila, disaat perempuan itu bergumam kecil.
"SHEILA!"
Sheila yang merasa terpanggil menoleh ke belakang. Matanya berbinar mendapati Adit disini.
Adit tak percaya jika perempuan itu benar-benar Sheila. Penampilannya sudah sangat memperhatinkan. Dengan segera Adit menghampiri Sheila.
"Sheila kamu kenapa?" tanya Adit lembut. Sheila terisak, bibirnya kelu untuk bicara.
"Kamu kenapa, Shel?" tanya Adit lagi.
"Kok kamu bisa disini?"
"Kamu habis darimana?"
"Kamu kenapa nangis?"
"Jangan nangis, Sheila." Setelah mengucapkan sedemikian. Tubuh Sheila tak kuat lagi menahan beratnya, ia jatuh di dalam pelukan Adit. Dengan sigap, Adit menangkap tubuh Sheila. Martabak yang dibawa tangan kanannya ia jatuhkan. Perempuan ini sepertinya benar-benar kacau perasaannya.
"Gue takut ...." Isak Sheila di dada bidang Adit. Adit semakin pedih, disaat mencium bau alkohol dari mulut Sheila.
"Gue takut, Dit."
"Tolongin gue."
"Gue gak tau harus gimana. Gue takut."
Adit memjamkan matanya sejenak. Tak menyangka jika cewek bar-bar seperti Sheila dapat menangis seperti ini. Adit menatap Sheila kasihan. Bagaimana ia dapat membantu Sheila sekarang? Apa ia harus menolong cewek lampir ini?
Sekian lama Adit diam. Akhirnya ia bersuara, "Kalo gitu dimana rumah kamu?" Hening, tak ada jawaban. Isakan pun sudah terhenti. Adit melihat Sheila, cewek itu sudah tidur pulas. Bahkan dalam posisi seperti ini, dalam dekapannya. Adit menghela napas sekali lagi, lalu apa yang akan ia lakukan? Tak berpikir lama. Adit menggendong Sheila, memang ini berat. Tapi ia harus segera mungkin menolong Sheila. Dengan susah payah Adit menggendong Sheila menuju rumahnya, ditambah lagi baju Sheila yang mini, membuat Adit khilaf jika melihatnya. Untung saja, pikirannya masih jernih.
Sesampai di depan rumahnya, Adit memencet bel. Ia sudah kualahan, makanya ia kesusahan untuk membuka kunci pagar. Risa yang menunggu kepulangan anaknya itu. Dengan segera membukakan pagar rumah. Terkejut, melihat Adit membawa seorang perempuan yang tak sadarkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Nerd Boy
Teen FictionAdit, cowok pintar, kesayangan guru, si kutu buku, dan terkenal karena kepintarannya. Akan tetapi, menurut Sheila. Adit baginya seperti boneka nya yang selalu ia permainkan. Sheila, cewek yang terkenal karena kenakalan nya. Namanya pun kerap me...