[pelan-pelan aja bacanya ye♡]
----
Tatapan menukik khas Sheila mengintrogasi kedua orang yang tengah duduk di sofa ruang tamu. Dengan gaya angkuhnya Sheila ikut duduk tepat berada di depan kedua orang itu. Tampang Sheila pun datar, tanpa ekspresi. Entahlah ia sedikit tidak suka dengan kehadiran mereka berdua.
Hera dan Gian.
Mereka adalah Tante dan Pamannya Sheila. Arif— Papanya itu adalah anak sulung dari keluarga bermarga Virnansyah itu. Sedangkan Hera merupakan istri dari Ridho, Om Sheila yang memegang yayasan sekolahnya. Kalau Gian anak bungsu, jujur Sheila sudah lama sekali tidak melihat sosok Pamannya itu. Pasalnya ia sekarang memegang perusahaan di luar negeri.
"Sheila, lama tidak bertemu ya!" Sapa Hera seraya tersenyum.
Diam-diam Sheila mendecih pelan, mengapa mereka baru datang kesini saat ini? Bukan kah itu sudah sangat terlambat? Bukannya apa, Sheila juga tahu diri. Dirinya juga merasa anak durhaka bagi Mamanya.
Tapi Paman Bibinya itu sama sekali tidak datang dalam acara pemakaman Neneknya. Kecuali Ridho, beliau adalah sosok yang baik. Terkadang Ridho juga mampir kemari hanya untuk mengecek keadaan Sheila. Paman Sheila yang satu ini benar-benar sayang kepadanya.
Padahal jika dilihat Emmi adalah orang yang baik. Tidak seperti Maya, Mamanya itu. Tapi sayang sekali, anak-anaknya sangat tidak tahu diri. Kecuali Papanya, Sheila tahu jika almahrum Papanya itu sangat menyayangi Ibunya. Tidak seperti kedua makhluk yang ada di hadapan Sheila saat ini.
"Gimana keadaan kamu Shel?" Itu suara Gian, hanya sekedar basa-basi.
"To the point nya aja," sarkas Sheila.
"Kita tanya baik-baik kok dibales gitu. Mana akhlak kamu?" Cibir Hera menyunggingkan senyumnya.
Sheila merotasikan bola matanya, ia jengah dengan semua ini. "Udah tahu kalau gak ada akhlak kenapa marah?"
Hera tersulut emosi saat itu juga, tapi Gian segera mungkin menenangkan Kakak perempuannya itu. Mereka harus ekstra sabar menghadapi Sheila yang batu ini.
"Ingat tujuan kita, Mbak!" bisik Gian pelan. Bahu Hera yang rendah kini ia tegakkan, pertanda dirinya akan serius.
"Ini ada beberapa surat wasiat dari Nenek kamu." Hera menjulurkan beberapa berkas yang dibawanya. Sheila tak berniat membukanya, dirinya sendiri sudah bisa menebak isinya.
"Bentar lagi rumah ini jadi milik kita berdua," beritahu Gian dengan nada datarnya.
Sheila mendengus, ia tidak terkejut. Hanya saja Sheila merasakan bahwa Paman dan Bibinya itu terlalu tamak dalam hal seperti ini.
"Jadi Sheila, kapan kamu pindah dari sini? Rumah ini akan saya sewakan kalau tidak ya dijual."
Sheila mendelik. "Kok gitu?! Kenapa kalian te— "
"Lagi pula kamu bisa ikut sama Mama kamu!" potong Hera cepat.
Sheila kalut bukan itu maksudnya, ia hanya tidak menyangka akan menyewakan atau menjual rumah mendiang Neneknya itu. Asal kalian tahu saja, jika rumah ini sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu.
"Kita kasih waktu sama kamu, buat segera pergi dari sini." Itu adalah kalimat yang lebih menuju mengusir. Sheila tidak bodoh untuk mencernanya.
Napas nya yang berat Sheila hembuskan, lalu menatap satu persatu orang di hadapannya ini. "O, oke aku bakalan pergi dari sini. Tapi kenapa kalian mau jual rumah ini? Ini peninggalan dari Nenek, aku gak setuju."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Nerd Boy
Teen FictionAdit, cowok pintar, kesayangan guru, si kutu buku, dan terkenal karena kepintarannya. Akan tetapi, menurut Sheila. Adit baginya seperti boneka nya yang selalu ia permainkan. Sheila, cewek yang terkenal karena kenakalan nya. Namanya pun kerap me...