Part 1

779 34 5
                                    


“I don’t think I’m ready to marry you, Miyeon-ah. I love you but I can’t do this anymore.”

Cho Miyeon mendesah panjang ketika kalimat yang diucapkan Joshua Hong seminggu lalu tiba-tiba terngiang kembali di benaknya. Ia memijit pangkal hidungnya, meringkuk lebih dalam di kursinya. Tangan kanannya masih memegang ponsel walaupun ia tidak begitu memerhatikan seseorang yang sedang bicara di ujung sana.

“Jadi, kau akan ke Tokyo akhir minggu ini, tidak?” tanya Jisoo, kakaknya, sedikit keras. Jisoo terdengar kesal, tahu bahwa adiknya sama sekali tidak mendengarkannya berbicara panjang lebar di telepon.

Miyeon mengerjapkan mata, teringat bahwa Jisoo masih menunggu jawabannya. Ia menutup laptop di hadapannya dengan keras lalu bangkit dari kursinya. Tidak lupa ia menyambar mantel yang ia sampirkan di kursinya tadi. Ponselnya kini ia apit di antara bahu dan telinga kanannya sementara ia mengaduk-aduk isi tas untuk mencari kunci mobil.

“Tentu aku akan datang, eonnie,” jawabnya sambil lalu. “Aku tidak mungkin melewatkan pernikahanmu,” sambungnya.

Lift di hadapannya berdenting terbuka. Miyeon segera masuk. Beberapa rekan kerjanya menyusul satu detik kemudian.  Miyeon melemparkan senyum seadanya pada mereka sambil menekan tombol penutup pintu lift. Wanita-wanita di sebelah Miyeon mulai bergosip sambil berbisik. Miyeon hanya memutar bola matanya ketika desisan-desisan penuh semangat memenuhi setiap sudut lift. Ia tidak pernah tertarik untuk menggosipkan rekan kerjanya, apalagi atasannya.

Ketika Miyeon membuka pintu mobil, Jisoo belum juga memutuskan sambungan telepon walaupun ia sudah mendapatkan jawaban yang ia inginkan; Miyeon akan datang ke Tokyo akhir minggu ini untuk menghadiri pesta penikahannya, dan ia berjanji akan memaksa Tzuyu, adik bungsu mereka, untuk menjadi bridesmaid. Miyeon mempunyai firasat buruk tentang ini. Jisoo tidak biasanya berlama-lama di telepon. Ia akan mengatakan hal yang perlu ia katakan. Kecuali, kalau saat ini masih ada hal yang belum ia sampaikan pada adiknya itu.

“Bagaimana kabarmu?” Miyeon bisa menangkap kekhawatiran dalam suara Jisoo.

Decakan kecil meluncur dari bibir Miyeon. “Eonnie sudah berbicara lebih dari sepuluh menit dan baru menanyakan kabarku sekarang? Wow, daebak.”

Miyeon bisa membayangkan Jisoo sedang memutar bola matanya ketika ia berkata, “Terserah apa katamu. Aku serius, Miyeon-ah. Bagaimana kabarmu?”

Kali ini Miyeon memasang handsfree karena ia harus menyetir. Miyeon tidak begitu berbakat dalam multitasking, dan hal terakhir yang diinginkannya saat ini adalah terlibat dalam kecelakaan lalu lintas di tengah salju akhir tahun.

I’m fine, thank you very much. Pekerjaanku lancar dan aku sehat.” Jawaban Miyeon terdengar seperti mesin penjawab otomatis.

Jisoo berdecak di ujung sana. “Bukan itu maksudku. Bagaimana keadaanmu setelah… ekhem… Joshua mengakhiri hubungan kalian?”

Miyeon tidak menyadari bahwa genggamannya pada kemudi semakin erat ketika nama itu disebut. Satu minggu berlalu dan ia masih saja merasakan himpitan di dadanya setiap kali ia diingatkan oleh kejadian pahit minggu lalu. Satu minggu tentu tidak cukup untuk melupakan tiga tahun penuh kenangan indah di antara mereka. Miyeon bahkan tidak yakin ia bisa sepenuhnya lepas dari pria itu dalam hitungan bulan. Mungkin ia butuh bertahun-tahun. Atau mungkin ia tidak akan pernah melupakannya sama sekali. Selamanya.

Since I Found You [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang