PART 17

171 13 6
                                    


"Dio! Mira!" Panggil Milly.

"Dio! Mira! Tunggu!" Dio dan Mira pun berhenti dan berbalik menatap Milly tajam.

"Gu-"

"Gue pikir lo salah alamat Mil." Ucap Dio dengan nada kecewa.

"Oh atau ini emang rumah sakit?" Milly menunduk, bulir air mata telah turun membasahi pipinya.

"Gue minta maaf Di, gue bisa jelasin ini semuanya dan-"

"Dan ini udah jadi kesekian kalinya lo bikin gue kecewa. Lo kenapa sih Mil? Lo tau kalau lo itu berubah? Bahkan sekarang lo ada diposisi pihak lawan sahabat lo sendiri."

"Gue nggak tau Di kalau misalnya om Bayu itu yang nikah sama nyokapnya Arga."

"Lo bisa sampe nggak tau gitu? Pasti lo dikasih tau atau bahkan lo dikasih undangan sama Arga 'kan? Please Mil, lo itu pinter, IQ lo tinggi, tapi kenapa lo bisa sebodoh itu?"

"Gue nggak baca, gue cuma baca tanggalnya." Milly makin menangis.

"Mil, lo itu udah berubah. Banget. Bahkan sekarang lo bukan Milly yang gue kenal lagi, lo nggak lebih dari seorang pembohong. Atau bahkan pengkhianat. Lo udah buat gue kecewa, gue pikir setelah kejadian seminggu yang lalu, itu permintaan maaf terakhir lo. Ternyata gue salah." Dio menggeeleng-gelengkan kepalanya.

"Gue kecewa sama lo. Lo nggak mikir perasaan gue Milly. Gue benci sama lo. Dan satu lagi, jangan pernah lo ucapin kata maaf, karena bagi gue kesempatan hanya datang satu kali. Dan lo udah sia-siain kesempatan itu." Ujar Dio membalikan badannya, Milly terisak.

"Apa selama ini lo peduliin perasaan gue? Gue tuh cinta sama lo Di! Tapi lo nggak pernah sadar, gue tau mungkin perasaan gue salah buat cinta sama sahabat gue sendiri. Selama ini gue selalu berusaha buat nutupin. Tapi mau sampe kapan? Sampe waktu yang jawab dan perasaan itu memudar? Lo sendiri aja nggak tau kalau gue sayang sama lo lebih dari sahabat." Ucap Milly sambil terisak, membuat Dio menghentikan langkah sejenak, kemudian berjalan kembali.

"Maafin gue Mil, tapi jujur gue juga kecewa sama lo. Nggak seharusnya lo bohong soal Oma lo, dan jujur itu lebih baik daripada lo bohong kayak gini." Ucap Mira yang ikut meninggalkan Milly.

Milly terjatuh, persetan dengan para tamu yang baru hadir itu menatapnya, ia menangis terisak disana.

Arga yang sedari tadi berdiri depan pintu gedung, hanya bisa menyaksikan semuanya. Tak tega melihat Milly seperti itu, Arga mendekatinya kemudian memeluk Milly. Dan Milly menangis sejadi-jadinya disana.

- - -

"Mil, udah sampe." Ujar Arga setelah memarkirkan mobilnya dihalaman rumah Milly.

Milly yang sedari tadi diam dan melamun itupun membuka seatbeltnya tanpa mengatakan apapun.

"Maafin gue ya. Harusnya gue nggak ngajak lo."

"Nggak, gue yang sal-" Milly memalingkan wajahnya hendak menatap Arga namun rautnya tiba-tiba berubah.

"Arga?!" Ujarnya panik dan memegangi wajah Arga.

"Hidung lo-"

Arga mengusap hidungnya dan mendapati darah segar disana.

"Oh darah." Ujarnya santai seraya mengambil tissue di dashboard.

"Lo-"

"Nggak apa-apa kok Mil, ini Cuma kecapean aja. Udah sana lo masuk."

"Tapi kan lo nggak-"

"Udah sana masuk." Arga memotong ucapan Milly sambil mengusir-usir Milly dari mobilnya.

"Lo yakin nggak apa-apa? Lo mau minum dulu atau apa gitu."

"Gue nggak apa-apa Radmilly."

"Apa jangan-jangan lo khawatir ya sama gue? Udah mulai suka ya?" Arga mendekatkan wajahnya pada Milly membuat wajah Milly merah seketika.

"Mimpi lo!" Milly menjitak kepala Arga, membuat Arga memekik dan buru-buru keluar dari mobil.

Ketika sampai dilantai 2 rumahnya, Millo menginterupsi Milly. Membuat gadis itu menoleh pada Millo yang sedang menonton diruang keluarga.

"Eh, mata lo kok bengkak. Kenapa? Nggak direstuin sama camer ya lo dateng bareng Arga?"

Milly melempar clutch ditangannya yang dengan sigap diambil oleh Millo.

"Kenapasih?" Tanya Millo bingung.

"Yang nikah sama nyokapnya Arga tuh Om Bayu. Bokapnya Dio."

"Ya emang."

"Ya emang? Lo tau?"

"Yaiyalah Radmilly. Sudah terpampang jelas disurat undangan."

Milly terdiam, kenapa dirinya bodoh sekali?

"Lagian lo aneh ah, lo nggak ketemu Mami Papi?"

"Hah? Mami sama Papi kesana?"

"Iyalah. Tapi tadi otwnya jam 8 sih. Lo nggak ketemu?"

Milly menggeleng.

Millo menepok jidatnya sambil ikut menggelengkan kepalanya.

"IQ lo berapasih Mil? Sumpah lo bego banget."

Milly mendekat kearah Millo dan menarik rambut Millo membuat Millo berteriak kesakitan. "Nggak usah ngomongin IQ, masih tinggian IQ gue daripada lo!" Setelah itu Milly pun berjalan memasuki kamarnya dan merutuki dirinya.

- - -

"Apa selama ini lo peduliin perasaan gue? Gue tuh cinta sama lo Di! Tapi lo nggak pernah sadar...."

Ucapan Milly terasa begitu mengiang-ngiang dibenak cowok itu. Dio. Masih tak percaya akan ucapan Milly, benarkah Milly mencintainya? Kalau begitu benar kata Mira tadi bahwa Dio baru menyadari ketika Milly tak lagi disampingnya.

"Di, apa yang Milly bilang emang bener. Dan lo-lo nggak pernah sadar kan?"

"Kenapa Milly nggak bilang dari dulu sih?"

"Lo nggak boleh nyalahin Milly. Emang gampang buat kita untuk jujur tentang perasaan? Apalagi kalau kita suka sama sahabat kita sendiri. Milly nggak mau jujur karena dia takut. Karena dia takut kalau dia bakalan kehilangan elo nantinya. Daripada kehilangan lo, Milly lebih baik nutup rasa itu."

"Ya gue... gue juga sayang sama Milly."

"Tapi lo nggak kasih dia kepastian. Mau sampai kapan lo sama dia saling mendam rasa dan nggak diungkapin? Itu malah akan menyakiti diri sendiri."

"Alasan gue sama, gue nggak mau liat Milly jauh kalau dia tau gue suka sama dia."

"Nggak, Setidaknya salah satu diantara kalian harus ada yang mulai duluan, sebelum pintu hati itu udah tertutup dan diisi orang lain."

"Dan gue rasa pintu hati lo udah diisi sama seseorang sekarang." Gumam Dio seraya memejamkan matanya.

- - -

AMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang