PART 20

156 11 1
                                    

Tok tok tok

"Masuk."

"Permisi tuan," Bi Inah memasuki ruang kerja bernuansa modern minimalis milik Bara.

"Ada apa Bi?"

"Tadi sore, Mas Iyo kesini. Terus Mas Iyo nyuruh saya sampein pesan ke tuan. Kalau ternyata selama ini Den Arga ndak pernah minum obatnya tuan. Terus juga pas saya nyuci bajunya, saya sempat beberapakali menemukan bercak darah tuan..."

Bara melepas kacamatanya,

"Arga di mana sekarang?"

"Tadi keluar lagi tuan, nggak lama ngobrol sama Mas Iyo nya. Tadi pamitan ke saya bilangnya mau ketemu Non Milly."

"Milly? Siapa itu?"

"Ndak tahu tuan, sepertinya teman sekolahnya Den Arga. Waktu itu sempat ke sini, orangnya ayu tenan lho tuan."

"Yaudah, makasih ya Bi Inah. Nanti kalau Arga pulang, suruh temuin saya."

"Baik tuan, permisi." Bi Inah melangkahkan kaki keluar.

Bara termenung sejenak, kemudian ia bangkit dan menuju kamar Arga.

Benar kata Bi Inah dan benar dugaannya selama ini, Arga tidak pernah meminum obat-obatannya.

Bara mengaku bahwa dia bukanlah orang tua yang baik, ia banyak memberi masalah pada Arga, memberi beban pada Arga, dan jarang sekali memperhatikan Arga.

Di lihatnya foto keluarga yang terdapat di atas meja belajar Arga. Betapa bahagianya ketiga orang di sana, senyum rekah dan ceria milik Arga yang tak pernah ia lihat lagi semenjak hari itu.

"Papa?" Suara interupsi seseorang membuat Bara menoleh dan meletakkan kembali foto itu.

"Kamu dari mana?"

"Dari mana-mana."

"Arga..."

Arga terdiam melihat benda di tangan kanan Bara.

Bara menghampiri Arga dan memberikan obat yang seharusnya tinggal setengah atau bahkan sudah habis.

"Satu alasan agar papa tetap hidup adalah melihat kamu." 

Arga mendongakkan kepalanya, menatap Bara yang menampilkan raut kesedihan yang mendalam.

"Papa memang bukan seorang bapak yang baik, tapi papa selalu menginginkan yang terbaik untuk kamu."

Arga bisa melihat sebentar lagi air mata itu akan turun membasahi pipi Bara.

"Kamu tahu kan alasan dia? Agar kam-"

"Pah, Arga udah membuat kesalahan besar yang merenggut nyawa seseorang."

Turun.

Air mata itu turun juga ternyata.

Bara menangis.

"Nggak sama sekali, semua itu takdir. Kalau di tanya siapa yang paling salah, papa adalah orang yang paling bersalah di sini. Papa nggak bisa memberikan kamu kebahagiaan yang layak dan utuh, papa terlalu sibuk, dan papa–"

Bara terdiam sejenak dan memalingkan wajahnya sesaat.

"Papa terlalu egois hanya memikirkan rasa sedihnya papa karena mama kamu. Tanpa papa sadar sebenarnya yang paling sedih adalah kamu."

Arga hanya diam mematung sambil memandang dari jauh figura foto itu.

Setelah selesai berbicara, Bara menepuk pelan bahu Arga.

AMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang