10

5.2K 593 12
                                    

"Taehyung?"

Taehyung menoleh. Dan terkejut setelahnya.

Sosok 'Ayah' muncul di depan mata. Tangan Taehyung yang memang ia istirahatkan di meja mengepal. Dengan reflek Jeongguk menggenggam tangan Taehyung.

"Ah, apa kabar nak?" Tanya ayah Taehyung.

"Anda tidak perlu tahu'kan?" Taehyung melirik ke arah ayahnya tajam.

"Ah, jahatnya," ayah Taehyung tersenyum getir.

Menatap ke arah Jeongguk yang juga menatapnya. Ayah Taehyung menyeringai. Matanya memicing sesekali.

"Ah, Jeongguk, iya?" Tanya ayah Taehyung dengan senyuman. Mengajak Jeongguk berjabat tangan.

"Iya, paman." Jeongguk tidak melepas genggamannya pada tangan kanan Taehyung. Karena ia menggenggam tangan Taehyung menggunakan tangan kiri, maka Jeongguk berjabat tangan dengan ayah Taehyung.

"Sudah besar ya nak," ayah Taehyung menepuk pundak Jeongguk.

"Taehyung, apa kabar nak? Sehat?" Tanya ayahnya sekali lagi.

Taehyung pada akhirnya mengangguk. Namun menunduk dalam. Sedikit menggeser kursinya.

"Ayah merindukanmu nak, tinggal sama ayah saja—"

Taehyung menepis tangan ayahnya dari pundaknya dan segera berdiri. Pergi keluar restoran. Perasaannya kacau. Semua memori pahitnya terulang.

Dan ia benci.

Ia membenci kenyataan bahwa ayahnya memilih pergi. Meninggalkannya dan ibunya.




.

.

.

"Aku pulang—"

"Mama?" Taehyung mengernyit karena rumahnya ada dengan keadaan redup. Ia memang pulang cukup sore hari itu. Tahun itu, umurnya 11 tahun.

Taehyung mendengar suara-suara dari kamar orang tuanya.

"Kamu memang PAYAH!"

Taehyung terkesiap. Itu suara ayahnya yang membentak ibunya mungkin?

"Aku melakukan semua yang aku bisa untuk membahagiakanmu, dan kamu berpaling?! APA DIA LEBIH MENARIK DARI AKU? PEREMPUAN SEPERTINYA!"

"Memang seharusnya kita tidak bersama! Taehyung akan kubawa!" Ketus ayahnya.

Karena merasa takut, Taehyung pergi masuk ke dalam kamarnya. Dan terkesiap karena ayahnya membuka pintu kamarnya. Ayahnya mendekat.

"Nak, Taehyung, dengar ayah,"

Taehyung menggeleng. Lusa adalah hari dimana liburan musim panas dimulai. Taehyung sudah tidak sabar dia akan dibawa jalan-jalan. Setidaknya begitu yang ia pikirkan.

Ia tidak ingin orangtuanya berpisah.

"Ikut ayah ya, ayah akan membelikan banyak barang yang Taehyung suka, ikut ayah ya," bujuk ayahnya.

"Kemana ayah? Mama nggak diajak?" Tanya Taehyung.

"Soal itu—"

"Taehyung," Mama datang dengan senyum lembut.

"Taehyung, mama mau tanya," mama mendekat. Duduk di sebelah ranjang Taehyung.

"Taehyung, maaf, mama terpaksa ngomong begini," Mama menggenggam kedua tangan Taehyung. "Maaf sayang, ayah dan mama memilih berpisah, Taehyung mau ikut siapa?"

"Aku nggak mau mama sama ayah cerai," tutur Taehyung.

"Kalau Taehyung ikut ayah, nanti ayah ajak ketemu mama baru, ya, nanti Taehyung punya adik," bujuk ayah.

"Nggak mau mama baru," Taehyung menggeleng terisak setelahnya.

"Mama,—hikd," hari itu Taehyung menangis di pelukan Mama.

Hasil dari sidang perceraian, hak asuh jatuh di tangan mama. Taehyung yang digandeng oleh mamanya pulang hari itu dengan duka. Taehyung sempat melihat ayahnya tidak mengucapkan selamat tinggal dan memilib benar-benar pergi dengan pasangan barunya.

Taehyung tahu mama mencintai ayah begitu dalam. Tapi mama tidak pernah mau menunjukkan kesedihannya di depan Taehyung.

-
-

"Hikdhikd."

Malam itu tepat jam dua belas malam, Taehyung belum pergi dari taman dekat rumahnya. Duduk di ayunan. Menunduk dalam.

"Bocah."

Taehyung menoleh cepat. Mendapati Jeongguk yang masih berumur 17 tahun saat itu. Yang Taehyung tahu dari Jeongguk, Jeongguk adalah salah satu sepupunya. Tidak terlalu dekat. Baik, tapi dingin.

Namun, Taehyung lebih memilih untuk menangis di dekapan Jeongguk dibandingkan sepupu lain.

"Ayo pulang, mamamu nyariin,"

Lantas Taehyung memilih turun dari ayunan yang ia mainkan dan berlari memeluk Jeongguk.

Radar • kv • [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang