10 04 2020
Menjelang malam,
Semua kan berkumpul di kepala menjadi satu, lebih berwarna lebih indah dan lebih hidup.Lalu Rindu, menjadi suatu hal yang sangat mendesak di kepala mu dan seketika dirimu membisu.
Sebab Rindu pula yang membuat mu kehabisan kata-kata, seolah menghipnotis lidah tuk seketika kelu, bahkan tuk menyebutkan namaNya.
Sudah empat hari berlalu sejak terakhir kali Seokjin bertemu dengan pria pemain theather itu. Dan selama itulah tak sedetik pun benaknya berhenti tuk memikirkannya. Yang Seokjin lakukan akhir-akhir ini hanya berdiam diri di kamarnya. Ia akan keluar dari sana saat sarapan, makan siang, atau pun makan malam telah datang.
Seokjin tidak pergi keluar istana lagi. Pergelangan kakinya belum juga membaik sejak insiden itu. Ayah dan Ibunya khawatir melihat bagaimana rupa pergelangan kaki Seokjin.
Siang ini, Seokjin duduk di pinggir jendela besar kamarnya. Menikmati angin siang yang sejuk seraya menatap langit biru berhias awan putih. Sesekali Ia pandangi kakinya yang masih berbalut kain putih gading yang kini terlihat sedikit kotor karena aktifitasnya.
Fikirannya berkelana menjelajah waktu, memutar kembali kilas balik malam itu. Malam dimana Ia bertemu pria itu..
Yeah...
Malam ketika Ia bertemu Kim Namjoon.
Seokjin yakin betul bahwa Ia tidak bermimpi. Malam dimana Ia bertemu sosok tampan itu. Ia yakin betul itu bukan mimpi, buktinya kakinya yang terluka bekas pelariannya kala itu masih di perban dengan kain baju milik pria itu. Namun ketika orang-orang melihat kakinya, mereka seakan berfikir bahwa Seokjin baru saja terjatuh dari tangga. Seokjin terheran heran dengan kenyataan itu. Seokjin tak menyangkalnya, namun tak juga membenarkannya. Bagaimana bisa mereka berfikir demikian.
Padahal Seokjin tidak menceritakan apapun pada mereka.
Seokjin tak berani mengungkap yang sebenarnya. Namun jika dia sendiri yang menyimpan kisah pertemuannya itu sendiri, kini pertemuan itu seolah hanya mimpi. Seokjin menyentuh pelan helai kain itu.
Rasanya Ia ingat betul bagaimana dengan mudahnya pria itu menyobekkan lengan bajunya untuk membalut luka Seokjin. Netra Seokjin tak kunjung melepas tatapannya pada kain itu.
Ini mungkin gila..
Namun sejak kejadian itu, tak sedetik pun terlewatkan tuk memikirkannya. Sedih juga melihat pria itu nampak marah padanya. Seokjin jadi berfikir keras, kenapa pria itu begitu marah padanya? Apa Seokjin baru saja mencuri ciuman pertamanya?
Seokjin ingat betul bagaimana bibir penuh itu mendominasinya, mengikatnya pada pesona dengan nafsu yang membara. Memikirkannya membuat Seokjin merona sendiri jadinya. Seokjin menghela, bila seperti ini Ia menjadi rindu sekali pada Jungkook. Ia ingin memeluk kelinci itu dan berkata bahwa sungguh demi apapun Ia lelah.
Apa kabar kelincinya itu?
Apa Jungkook baik baik saja di sana?
Seokjin menyapukan pandangan pada langit biru siang itu sekali lagi. Lalu netranya menangkap sosok putih mendekat padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Opera [NAMJIN]
RandomON GOING. Seokjin tidak pernah menonton pertunjukan Opera. Ia hanya pernah membacanya pada buku-buku usang di istana megahnya. Hingga suatu hari di malam yang dingin, Seokjin meneduh pada bangunan besar indah yang dia ketahui sebagai gedung opera...