Selamat membaca 😊
•••
“Kita yang pernah sedekat nadi, kini justru harus jauh layaknya bumi dan matahari. ”
•
•
•Pagi yang cerah. Gumpalan awan terlihat berkumpul dengan apiknya. Matahari dengan malu-malu mulai menampakan sinarnya.
Sastra terlihat sedang memanaskan motornya. Namun, tiba-tiba mesin motornya mati. Ia berulang kali mencoba menyetater kembali motornya, tapi tetap saja tidak bisa. Ia pun masuk kembali ke dalam rumah untuk meminta bantuan dari ayahnya.
“Ayah, motornya nggak bisa di stater. ” ujarnya dengan nada manja.
Wajah Abi yang memang terlihat tegas dan galak sedikit membuat Sastra ketakutan akan di marahi.
Abi pun keluar rumah diikuti Sastra di belakangnya. Dengan mudahnya mesin motor itu hidup kembali setelah Abi menyetaternya beberapa kali.
“Udah dibilangin. Kalau mau manasin motor itu lampu motornya di matiin dulu! Udah kelas 3 Sma kok nggak ngerti-ngerti juga. ” ucap Abi dengan nada sedikit tinggi. Ia langsung masuk ke dalam rumah begitu saja.
Sastra yang di omeli seperti itu menghela nafas. Dadanya terasa sesak, tenggorokannya seperti tercekat. Ia berusaha untuk tidak menangis.
Hal seperti itu sudah biasa di dapatkannya bahkan setiap saat. Ayahnya berbicara keras pada saat-saat tertentu. Ayahnya dengan mudah memarahinya hanya karena hal-hal kecil sekalipun.
Namun meskipun sudah terbiasa, tetap saja rasanya tetap menyesakkan. Hatinya yang sensitif membuatnya ia selalu tersinggung oleh perkataan-perkataan seperti itu.
“Sabar, Sastra. Jangan nangis. ” ujarnya pada dirinya sendiri sambil berusaha tersenyum.
“Tarik napas.... buang.. Tarik napas..buang.” Sastra pun berusaha mengatur pernapasannya agar tidak sesak.
Setelah di rasa mimik wajahnya kembali ceria, ia mengambil tasnya dan berpamitan untuk berangkat sekolah.
Sesampainya di sekolah, ia langsung menuju ke parkiran untuk memakirkan motornya. Jika sudah berada di sekolah, Sastra akan melupakan begitu saja masalahnya yang ada di rumah.
“Sastra! ”
Sastra yang merasa dirinya di panggil oleh seseorang pun langsung menengok ke arah sumber suara.
“Eh, Ilham. Ngga berangkat sama Resti? ” tanyanya sambil melangkah mendekati Ilham. Ilham itu termasuk teman dekat Sastra. Sastra mengenalnya dengan dekat karena Ilham merupakan sepupu jauh Resti. Jadi mereka sering berkumpul bersama dan akhirnya menjadi sahabat.
“Enggak, tadi udah di samperin sama si Malika. ”
“Oh, gitu. Yaudah, gue ke kelas dulu. ”
“Nggak mau nungguin Malika sama Resti dulu? ”
“Enggak deh. Tunggu di kelas aja. ”
Setelah mendapat anggukan dari Ilham, Sastra langsung bergegas menuju ke kelasnya yang berada di lantai 3.
“Assalamualaikum. ” ucap Sastra sesampainya di kelas.
“Waalaikumsalam. ” jawab Leta--salah-satu-teman-kelasnya--yang selalu berangkat lebih pagi darinya.
Sastra hanya melemparkan senyum seadanya pada Leta yang hanya di balas dengan anggukan.
Lalu keduanya sama-sama sibuk bermain ponsel masing-masing. Berharap teman-temannya segera datang dan suasana canggung itu akan berakhir. Entah kenapa sejak kejadian setahun yang lalu, hubungan mereka yang tadinya sangat dekat kini malah berjarak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Preordination | Sebuah Takdir
Teen Fiction⚠ AWAS BAPER ⚠ - - - Sastra Visha Handini. Namanya saja Sastra, pasti menyukai sajak dan gemar menulis. Gadis yang suka mencepol rambutnya dan memiliki masa lalu yang belum sempat dituntaskannya. Adriel Cendric Einstein. Namanya saja Einstei...