PROLOG

2.2K 257 643
                                    

JANJI. Adakah yang trauma dengan kata itu? Atau bahkan ada yang memiliki phobia khusus terhadap janji?

Mungkin seluruh penghuni bimasakti setuju bahwa definisi janji adalah menyatakan kesediaan untuk berbuat- seperti yang tertulis di KBBI. Atau mungkin beberapa dari kalian tidak setuju? Mengapa? Adakah seseorang yang pernah berucap janji kepadamu lalu tak lama ia mematahkannya? Apapun alasannya, yang jelas, bagi gadis itu sebuah janji ialah tidak jauh dari omong kosong.

Baginya definisi janji adalah sebuah kalimat yang sangat mudah untuk diucap, dengan alibi-alibi manis yang membuat si pendengar membangun harapan, namun pada akhirnya berubah menjadi angan yang tak pernah bertemu jawaban. Mereka tidak tahu bukan, bahwa kita para korban, telah membangun dinding harapan yang sangat besar dengan cita-cita semua kisah berakhir bahagia Tapi pada kenyataannya tidak semudah itu. Dia sang pengucap janji bisa saja tidak menepatinya.

Ya. Terlampau jahatlah kamu yang berani mengucapkan janji tanpa disusul tindakan yang nyata. 

"Saka..."

"Iya? Kenapa, Tha?"

"Bentar lagi kan kita kelas 12. Janji ya ke gue, jangan putusin gue disaat gue stress sama ujian-ujian."

"Iya, Tha. Gue dapetin lo itu susah banget, gue gak bakal segampang itu buat ngelepasin lo kok."

"Janji ya, Saka."

"Iya, gue janji, Agatha."

-o0o-

Ternyata secangkir teh panas yang baru saja lenyap masih belum cukup menghangatkan tubuhnya. Sesekali ia menggosokkan kedua telapak tangan demi menciptakan hawa hangat agar mengalir ke nadinya. Di malam yang begitu sunyi ini, ia merasa hanya ada dirinya dan gerimis hujan. Bahkan suara bising kendaraan tak lagi menemaninya.

Tetapi kenyataannya ia tidak takut gelap dan suasana sunyi yang kian lengkap. Ia masih memilih melamun di balkon kamarnya. Melihat jalanan basah, sehelai daun yang menua, dan lampu jalan yang masih berdiri kokoh. Ia pikir semua kesunyian ini akan mengobati perasaannya, tetapi tidak. Potongan-potongan ingatan masa lalu malah menggerogoti pikirannya. Layaknya sebuah proyektor, kenangan itu muncul di depan matanya. Ia semakin tak karuan.

Namanya Agatha Vega. Panggilannya Agatha. Cewek cantik dengan rambut panjang yang tidak suka diikat, dengan poni yang selalu ia jepit si sisi samping kanan, dengan sepasang lesung pipi yang terbit ketika ia tersenyum, dan dengan segala keramahannya. Dengan semua itu, tak heran bahwa Agatha menjadi salah satu siswi idaman di sekolahnya.

Malam semakin larut, pikirannya makin kacau. Akhirnya, ia memutuskan untuk menelpon seseorang. Nama yang selalu permanen di pikirannya selama sebulan ini.

Calling...

"Iya, Tha?"

Agatha tidak menyahut. Ia cukup terkejut bahwa panggilan darinya dijawab.

"Halo? Tha? Lo gak apa-apa kan?" panggilnya sekali lagi.

"Lo udah makan?" tanya Agatha tiba-tiba.

"Tumben lo nanya gue. Gue sih udah makan. Lo sendiri?"

"Belum... gue gak selera makan."

"Makan, Tha. Nasi masih enak kok."

Kini jantungnya mulai berdegup lebih cepat dari biasanya. Agatha merindukan suara itu.

"I... Iya habis ini, Saka."

Baru saja Agatha menutup mulutnya, orang yang dibalik telepon tersebut menjawabnya dengan menggebu-gebu.

"Hah? Saka? Gue Sarah bego!"

"Lah ini Sarah ya? Salah nelpon dong gue."

Ingin hati menelpon Saka, ternyata Agatha malah menelpon Sarah. Mungkin jarinya terpelincir ketika hendak menekan 'Saka' di kontaknya.

"Wah gila lo. Masa suara gue lo samain sama suara Saka sih, semirip itu emangnya?" tanya Sarah.

"Gue tadi dengernya suara Saka, sumpah deh!" ucap Agatha.

"Bucin akut lo emang." Sarah masih tidak habis pikir dengan sikap sahabatnya satu ini.

"Lo mau nelpon Saka lagi? Nggak usah, Tha," lanjutnya.

"Gue cuma mau mastiin sih. Pacar barunya Saka udah tau belum ya kalau Saka punya maag. Kalau Saka itu alergi udang. Terus dia gak suka manis, jadi kalau bikin teh waktu apel gulanya satu sendok aja. Saka juga—"

"Tha... Stop it. Gue tau move on itu hal yang nggak mudah. Tapi ayolah, berhenti nelpon-in Saka. Udah berapa kali lo nelpon tapi sama dia di-reject mulu. Berapa banyak chat lo yang cuma diread sama dia."

"Dengerin gue, Tha. Saka udah ninggalin lo. Dia udah punya pacar. Mau sampai kapan lo kek gini terus."

"Lo itu cantik, kind, smart. Udah sana lo pergi kemanapun, lo cari cowok apapun, lo tinggal milih, Tha. Tinggal nunjuk. Dan gue rasa hidup lo gak akan hancur cuma gara-gara lo putus sama dia."

Agatha terdiam mendengarkan nasihat sahabat karibnya itu. Ia mencerna semua kalimat yang ia terima.

"Halo, Tha? Lo gak tidur kan?" tanya Sarah memastikan.

"Gue beneran cantik?"

"Cantikan lo daripada pacar barunya Saka!"

"Gue baik hati?"

"Iya."

"Gue smart?"

"Iya, Tha. Lo smart meskipun rada bego."

Agatha menganggukkan kepalanya, mengerti.

"Terus, kenapa Saka ninggalin gue ya?"

"Dia mau pergi kali, ketemu Tuhan," celetuk Sarah.

"Bisa aja dia kena kanker stadium akhir atau penyakit mematikan lainnya, ya kan? Jadi dia tiba-tiba mutusin lo," lanjut Sarah.

"Hus! Gue serius ini. Alasan Saka mutusin gue apa ya?"

Sarah terdiam. Ia tidak berani menjawab, meskipun ia sudah tahu alasannya.

Setelah Saka memutuskan Agatha. Sarah adalah orang pertama yang tidak terima akan hal itu. Secara personal ia menemui Saka, menanyakan mengapa ia memutuskan Agatha tanpa alasan yang jelas. Dan ya, saat itu juga Sarah tahu jawabannya. Pengakuan dari Saka cukup membuat Sarah muak dan tidak akan membiarkan sahabat nya mengemis kepada orang yang salah.

"Dia terlalu brengsek buat lo," jawab Sarah.

"Padahal Saka janji bakal—"

"Jangan sebut nama Saka lagi, Tha. Lo harus lupain dia. Gini deh, besok kan Minggu, gue jemput ya. Kita makan-makan sampai lo puas, sampai lo lupa sama dia. Sampai lo hilang ingatan. Oke?"

"Jangan sampai hilang ingatan dong. Ini UN H-104, gimana kalau gue lupa semua materi nya."

"Hilang ingatan sama Saka maksud gue," ucap Sarah pasrah.

"Iya-iya. Tapi sore aja, soalnya kalau siang gue masih tidur."

"Siap sleeping beauty! See u!"

Call ended

Sebelum air matanya bercucuran lagi, Agatha beranjak untuk segera tidur. Ia menutup pintu balkon dan seluruh jendelanya. Ia lalu melemparkan tubuhnya ke ranjang dan menarik selimut. Jujur saja, yang ia lakukan sebenarnya sia-sia. Ia tidak bisa tidur, bahkan bisa dibilang dua hari terakhir ini ia tidak benar-benar merasakan yang namanya tidur dengan nyenyak. Di pikirannya hanya terlintas Saka, mantan yang telah menjalin hubungan bersamanya selama dua tahun belakangan ini.

"Kasur, kenapa ya Saka mutusin gue?"


-o0o-

RAYYANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang