Setiap pertemuan pasti diiringi dengan perpisahan, begitulah hukum alam yang tak bisa dihindari. Aku menghargai kenyataan ini, meskipun sangat berat untukku. Banyak harapan yang tersisa dalam diriku, termasuk keinginan untuk berbicara sejenak dengannya, bahkan jika itu adalah percakapan terakhir kita. Setidaknya, kesempatan ini memberiku ruang untuk meminta maaf padanya. Rasa nyesek ini memang mendalam.
Kehilangan ini terasa berat, bukan karena kehadiran orang lain dalam hidupnya, melainkan karena dia pergi tanpa memberikan kabar atau pamit. Seharusnya, jika memang harus pergi, setidaknya pamitlah sebagai bentuk kesopanan agar tidak menyisakan beban dalam pikiran. Namun, ya sudah lah, meskipun terasa menyakitkan, aku berusaha untuk menerima dan melanjutkan hidup.
Kadang, aku merenung, "Bukankah niatku ini baik? Menjaganya dari jauh dengan harapan dia kelak menjadi imamku." Aku rela berjuang untuk membuatnya lebih memahami agama, berharap agar dia menjadi lebih baik. Guruku pernah mengatakan bahwa mencari pasangan yang sepemikiran sangat penting, maka aku berusaha untuk merelasikannya dengan guru agar dia juga mengenal agama. Meskipun kita berjauhan, ada rasa tenang dalam diriku saat memikirkan dia yang menjauh untuk memperdalam iman. Mungkin, ini belum saatnya.
Namun, harapan itu tetap ada. Aku berharap agar relasi ini berhasil, agar dia bisa mempelajari Islam dengan lebih dalam. Meski mungkin kita tidak ditakdirkan bersama, aku yakin suatu saat nanti dia akan menghargai perjuanganku. Aku berdoa kepada Tuhan agar dia selalu berada di jalan yang benar, meskipun kita tak bersama.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
MAWAR [TAMAT] ✔
Fiksi RemajaMawar, ini adalah kisah seorang gadis yang menjaga dirinya dengan penuh kesederhanaan dan keanggunan, seperti bunga mawar yang merekah di tengah kerasnya kehidupan. Dalam perjalanan hijrahnya, ia bertemu dengan seorang lelaki yang membuat hatinya b...