Jaewon bukan maksud menakut-nakuti ataupun mengagetkan, cuma timing-nya kurang pas saja. Dia muncul di saat gadis itu sedang melamun. Muncul tiba-tiba dari belakang, entah sejak kapan mengintai keberadaannya.
“Ehhh, jangan teriak!” mohonnya.
Sementara gadis itu—Jisoo—menatapnya was-was sambil melirik kanan-kiri; memastikan dia memiliki akses untuk kabur. Kendati sangat tidak memungkinkan, karena kakinya masih sakit sampai sekarang.
“Gue bukan setan.”
“Emang bukan,” jawabnya cepat. “Lo cowok cabul semalam, kan?”
“Bukan juga,” tukasnya, menerima segala tuduhan tentang dirinya. Dia sadar, semalam memang kesalahannya. “Semalam gue kira lo teman gue,” ujarnya, menjelaskan baik-baik kronologis kesalahpahaman. “Gue minta maaf.”
Namun gelagat gadis di depannya seakan mengatakan hal lain. Jaewon segera menghadang jalannya untuk mendapatkan permintaan maaf dari Jisoo.
“Gue bukan cowok cabul atau apa pun tuduhan lo ke gue,” jelasnya bersabar. “Teman-teman gue bisa jelasin,” dengan mata melirik di balik punggung Jisoo, “mereka di sana.” Tak jauh dari tempat mereka, di balik batu besar yang sedang Jisoo duduki, sekelompok laki-laki dan perempuan sedang membenahi masing-masing tenda.
Ya, mereka adalah kelompok Jaewon.
“Mau gue panggilin?”
“Nggak perlu,” tampiknya. “Gue maafin.” Membuat Jaewon memandangnya ragu. Ucapan Jisoo terdengar tidak ikhlas sekali.
Jaewon enggan mengungkit hal itu. Melihat mimiknya menyiratkan bahwa dia sedang bad mood. Sebab itu dia tidak akan bertanya aneh-aneh atau menjelaskan sesuatu yang dapat mengacaukan mood Jisoo. Kemunculannya saja sudah mengacaukan mood-nya, apalagi penjelasan nanti.
“Oke,” balasnya kemudian. Lantas mengeluarkan ponsel milik Jisoo dan mengembalikan kepadanya. “Semalam gue nemu ini. Lo nggak sengaja ngejatuhin.”
“HP gue!” seru Jisoo riang menyambut benda persegi kesayangannya. “Makasih,” ia terharu mendapatkan kembali benda miliknya, “gue kira bakalan hilang.”
Jaewon cuma tersenyum memandang mimik riang gadis tersebut. Tiba-tiba menduga—mungkin—mood Jisoo hancur karena ponselnya hilang. Sekarang dia tampak ceria dan sedikit bersahabat.
Andai bisa lama di sini, Jaewon akan dengan senang hati mengupayakan segala cara agar Jisoo mau memaafkannya. Biarpun dia membalas “iya”, tapi hatinya belum sepenuhnya memaafkan Jaewon. Sayang, dia harus segara pulang ke kota. Hari ini merupakan hari terakhirnya di pulau ini.
“Tahu ini tanggal berapa?”
“Hm?” sahut Jisoo kontan teringat bahwa di depannya masih ada pemuda asing. “Oh, tanggal? Tujuh. Kenapa?”
Jaewon menengok ke arah temannya sebelum menjelaskan alasan kenapa menanyai tanggal. “Boleh minta alamat lo?”
“Hah?” Kecurigaan terpikirkan langsung olehnya. Dengan pandangan was-was.
Menangkap sinyal-sinyal itu, Jaewon segera menjelaskan, “Stop! Pikiran lo jangan ke mana-mana. Gue cuma minta alamat doang. Mau nebus tujuh kesalahan ke lo.”
“Tujuh kesalahan?”
Ia mengangguk. “Anggap aja tanggal tujuh ini gue punya tujuh kesalahan ke lo.”
Jisoo belum mengerti dan tetap tidak akan memberikan alamatnya pada Jaewon.
Jaewon seolah dapat membaca isi kepalanya. Oleh sebab itu, dia asal menyahut ponsel Jisoo. Menuliskan 12 digit nomer, kemudian menghubungi nomer tersebut. Begitu terdengar nada menyambung, Jaewon segera mengakhiri panggilan kemudian menyimpan nomer di kontak ponsel Jisoo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall in Hell | Taesoo [✔]
FanfictionJisoo menyesal menerima Taeyong sebagai kekasihnya. Penyesalan terus merutuki, karena berkat pemuda pemilik panggilan "gondrong" itu, hidup yang semula menyenangkan bagaikan bianglala, kini berubah menjadi roller coaster. ©2020 | Hippoyeaa