Tepat pukul dua siang, ia tiba di depan rumah bercat pagar silver metalik. Mobil terpakir sambil lalu menunggu sosok berambut panjang dan berhoodie hitam yang sedang menutup pagar rumah. Sosok itu mendekat sembari menaikkan tudung hoodie untuk menutupi wajahnya.
“Udah?” tanyanya demikian, begitu temannya itu duduk jok belakang.
Tak ada sahutan. Hanya terdengar helaan napas berat. Tubuh lelaki itu kian merosot hingga ambruk di jok belakang. Tangan kirinya lantas terangkat, dipakai untuk menutup seluruh wajahnya.
Sementara dua orang duduk di depan, memandangnya sesaat sebelum si pengemudi melajukan mobil; meninggalkan perkarangan rumah tersebut.
Mata lelaki si pengemudi melirik lewat kaca spion di dalam, memandangi lelaki di sana yang diam sejak penjemputannya. Wajahnya benar-benar tertutup, dia diam sejak lalu. Membuatnya berdecak dan menggeleng.
“Pengen gue rekam asli, dah. Cengeng banget lo.”
“Diem, Bob!” tegur perempuan di samping.
Bobby meringis memamerkan deretan gigi kelincinya yang menonjol.
“Lo nggak lihat? Dia nangis,” lalu tertawa, seolah kesedihan lelaki itu merupakan kebahagiaannya, “kali pertama. Hahaha.”
Bobby memang rese. Mentertawakan kesedihan seorang teman. Barangkali rasa simpatinya telah ditepis jauh-jauh. Berbeda dengan cewek di samping, dia bersimpati. Rasa-rasanya ingin mengeluarkan kalimat penenang, tetapi untuk saat ini, hal itu bukanlah yang diinginkan olehnya.
“Buruan, Won, rekam.”
“Brengsek lo, Bob!” maki Sowon makin jengkel, sedang Bobby tertawa senang.
“Udah, deh, Yong, nggak usah nangis. Lagian cewek masih banyak. Tuh, cewek Tinder setia menanti.”
“Bobby, diem!” Sowon membentak. Makin kurang ajar jika dia tidak dibentak. “Simpati dikit bisa, kan?”
“Itu kan keputusan dia,” tuturnya. “Lo sih ngeyel pengen nyoba sama Jisoo. Udah tahu tuh cewek gak suka sama lo.”
“Bobby!”
“Gue tahu dia teman lo, Won,” seru Bobby menyela sebelum dirinya disela, “tapi nggak usah dibelain.” Atensinya sempat melirik Sowon yang terdiam tak menyahuti sebelum fokus sepenuhnya pada jalan raya. “Dua-duanya sama-sama bajingan. Udah beres. Case closed!”
Sesaat hening di dalam mobil. Sowon kerap menoleh memperhatikan lelaki di sana prihatin, Bobby fokus menyetir, sementara Taeyong masih di posisi semula sejak gabung bersama mereka. Dengan kebisuan tanpa bergeming barang sedikitpun.
“Cuma ...,” suara Bobby kembali terdengar, mengisi keheningan ketika mobil berbelok memasuki kawasan perumahan, “si cewek siasatnya gerilya, sementara si cowok ketara. Di mana-mana cewek selalu benar; cowok salah. Meskipun dua-duanya salah.”
Saat mobil berhenti di depan rumah dengan pagar bercat coklat tua, benda panjang itu otomatis terbuka. Bobby menginjak gas pelan, memarkirkan mobil di garansi rumah yang tampak luas dilihat dari luar, dan pagar otomatis tertutup sendiri.
Bobby menoleh cepat ke belakang, setelah sukses memakirkan mobil. “Mau tinggal di sini atau rumah?”
Taeyong menurunkan tangan dari wajah. Nampak jelas wajah muram nan sembab; mata pun memerah. Sowon terhanyut dan bersimpati, sedang Bobby cukup melempar senyum tipis. Kali ini bukan senyum mengejek. Tulus dalam diri bahwa dia sesungguhnya juga bersimpati.
“Kalau mau balik, balik aja,” katanya, lantas mendorong pintu dan keluar cepat memasuki rumah mewah tersebut.
Mereka yang ditinggal hanya saling bertukar pandang, kemudian kompak menghela napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall in Hell | Taesoo [✔]
FanficJisoo menyesal menerima Taeyong sebagai kekasihnya. Penyesalan terus merutuki, karena berkat pemuda pemilik panggilan "gondrong" itu, hidup yang semula menyenangkan bagaikan bianglala, kini berubah menjadi roller coaster. ©2020 | Hippoyeaa