“Kak, ada paket!”
Jisoo kontan berlari cepat untuk mengambil paket yang diteriakan oleh adiknya. Dengan was-was menjaga paket itu agar tak berakhir pada si pemilik tangan “paksa”. Yah, siapa lagi kalau bukan Taeyong.
Pemuda itu masih di sini. Dia beneran menginap, bahkan berganti hari tetap tinggal, belum pulang. Mereka juga habis melewatkan sarapan bareng dan acara lari pagi yang dibumbui kejahilan Taeyong sepanjang car free day.
Minggu yang lain. Tak seperti minggu-minggu lalu.
Setelah mendapatkan paketnya, Jisoo melempar pandangan ke pemuda yang tengah duduk santai di sofa panjang. Mata mereka kontan berserobok. Dahi Taeyong mengernyit, heran melihat sikap gadis tersebut.
Tak lama ia mendapatkan jawaban, setelah mengamati bahasa tubuhnya. Jisoo tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Belum juga bertanya, gadis itu sudah lari terbirit-birit memasuki kamar. Menyembunyikan paket dari Jaewon di bawah bantal, dengan tubuhnya duduk menjaga di depan.
Taeyong mengekor di belakang sejak gadis itu lari menyembunyikan apa pun itu darinya. Ia asal masuk kamar tanpa repot-repot izin, dan mengunci—tanpa diketahui si gadis pemilik kamar.
Jisoo senantiasa duduk dengan kedua tangan menjaga kanan-kiri bantal agar tak diterobos oleh pemuda itu. Menjaganya ekstra hati-hati. Euforia saat mendapatkan paket kini teralihkan oleh kewaspadaan. Terlebih saat pemuda itu duduk di depan dan matanya mengarah pada “sesuatu” bersembunyi di belakang gadisnya.
“Apa?”
“Gak apa-apa,” jawabnya tetap bersikukuh menjaga paket keempat dari Jaewon. “Nggak ada apa-apa!” sahutnya demikian. Seraya menipis tangan yang hendak menerobos ke belakang.
“Bohong,” balas Taeyong.
Jisoo tak menyahut. Hanya berusaha mengalihkan pandang ke sekeliling kamarnya.
“Sini, keluarin itu.”
“Nggak mau!” tandasnya cepat. “Jangan dipaksa. Aku nggak mau ”
“Aku nggak maksa.”
“Barusan itu apa coba?”
“Minta tolong,” desisnya menyeret duduk lebih mendekat. Perlahan-lahan tubuh Taeyong mencodong ke depan; tangan kanan berusaha menyelinap masuk. Namun, lagi-lagi Jisoo mengagalkan dengan menepis kasar tangannya.
“Kamu pulang saja, udah siang. Mama kamu nanti cariin.” Yang hanya dibalas kekehan Taeyong saja. Pemuda itu kini menumpu kedua tangannya, masing-masing berada di sisi kanan-kiri sepasang kaki Jisoo, sementara tubuhnya kian mencodong ke depan.
“Dari cowok kamu, ya?” duganya asal menuding status sang pengirim.
Jisoo tak membalas, hanya menatap tanpa minat. Setia bergeming dan memperkuat benteng pertahanan menjaga paket ke empat Jaewon.
“Diam berarti iya.”
“Kalau iya kenapa? Memang cuma kamu saja yang punya koleksi banyak cewek. Aku pun bisa.”
Membuat pemuda itu terdiam beberapa detik, sebelum tersenyum tipis.
“Sudah bangga, begitu?”
“Sayangnya aku bukan kamu. Bangga jadi bajingan,” sarkasnya.
“Memang jadi bajingan salah?” balasnya. “Jadi bajingan pun siapa yang mengawali membanggakan? Kalian bukannya?”
Lagi-lagi Jisoo mengalihkan pandangan sekeliling kamar. Enggan bersitatap sesaat dengan sepasang mata hitam tersebut.
“Kamu jadi bajingan gak masalah,” ucap Taeyong. “Setiap bajingan pun akan berubah pada waktunya.”
Jisoo masih diam dan bergeming, dengan mata melihat sekeliling.
“Tapi aku gak yakin kamu bisa jadi bajingan,” lalu tiba-tiba ia terkekeh dengan mata berkilat akan kejahilan, “dapat cowok bajingan aja kamu udah se-naif ini. Gimana jadi bajingan nanti?”
Jisoo segera membalas tatapan mata penuh sirat akan jenaka itu. Ia mendengus marah. Tanpa sadar menampar wajah di depannya dengan amat pelan, dan sakit tetap terasa di pipi.
“Nggak ada lagi?” tanya Taeyong seolah menantangnya lagi.
Jisoo yang tersadar akan aksinya, dan pertanyaan terselip tantangan, dengan gerak cepat; untuk kedua kali ia menampar wajah Taeyong. Kali ini sedikit keras dan pipinya langsung terasa pedih.
Taeyong menerima kedua tamparan dari Jisoo. Tanpa mengelak ataupun menyalahkan tindakan gadis tersebut, ia sekadar tersenyum dan memandangnya kagum.
Setelah berdiam beberapa saat, diselimuti emosi yang tersirat. Jisoo kemudian menghela napas. Ia membenarkan posisi duduk sembari memandang pemuda di depan, sementara Taeyong masih dengan posisi sama seperti semula. Tanpa diubah ataupun berpindah tempat.
Lalu tak lama setelah Jisoo membenarkan posisi duduknya, Taeyong langsung memangkas jarak mereka. Mempertemukan sang bibir dengan bibir ranum tersebut. Saling menempel dalam hening cipta.
Sesaat sebelum Taeyong menginvasi bibir tersebut. Melumatnya perlahan-lahan untuk kali pertama. Tanpa paksaan tentunya. Menikmati kelembutan nan manis, terpadu pada kekenyalan yang bergerak pelan mengikuti ritme.
Jisoo terpana. Sosoknya tidak memberontak, berkat pikiran yang melayang ke mana-mana; jiwa bagaikan oki jelly drink, melunak. Sesaat terpana oleh kenikmatan fana; sesaat sebelum sang bibir melepas dan menjauh.
Mereka terdiam dan saling memandang dalam kisah penuh hening cipta. Namun, hening itu perlahan sirna oleh senyum yang terpatri di wajah sang lelaki, dan sebuah sentuhan terasa lembut di wajah.
Sedang sang dara tetap terbungkam. Namun, diam-diam terpana dan merasa adanya afeksi. Sesaat sebelum sang adam berkata, “Ayo, putus.”
Membenarkan dugaan bahwa sejatinya dirinya adalah seorang bajingan. Lantas untuk kali ketiga tamparan mendarat di pipinya.
THE AND
Let’s play song
Naff - Kau Masih Kekasihku
Pedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall in Hell | Taesoo [✔]
FanfictionJisoo menyesal menerima Taeyong sebagai kekasihnya. Penyesalan terus merutuki, karena berkat pemuda pemilik panggilan "gondrong" itu, hidup yang semula menyenangkan bagaikan bianglala, kini berubah menjadi roller coaster. ©2020 | Hippoyeaa