Satu minggu bukanlah waktu lama. Perpindahan hari per hari itu sangatlah cepat. Setelah dirinya resmi mendeklarasikan “satu minggu” dan telah berjalan tiga hari sejak saat itu. Nyatanya apa? Mereka masih berada di tahap sama.
Tersisa empat hari. Baik Jisoo maupun Taeyong, hanya mereka yang dapat memutuskan hubungan. Lalu, Jisoo merasa aneh.
Saat itu, dia mengira Taeyong akan menyita ponselnya semingguan sejak pernyataan deklarasinya. Nyatanya, pemuda itu mengembalikan ponsel sehari setelah penyitaan. Menukar kembali ponsel mereka, dan mereka pun jarang bertemu. Ganjil ke hari ketiga ini.
Jisoo merasa bimbang. Aneh saja tiba-tiba dia tak “senekat” hari lalu. Terlalu banyak diam dan obrolan pun sekadar chat tak sesering biasanya. Kebimbangan Jisoo pun langsung terjawabkan oleh Seolhyun yang memberitahu bahwa pemuda itu tengah pergi ke Bandung.
Berkat postingan teman-temannya juga, Jisoo tahu bahwa dia pergi ke Bandung tak sendirian. Malah ada Joy di sana—oh, ini berkat postingan Hwasa yang tak sengaja melihatkan sosok Joy.
Jisoo meringis. Padahal baru kemarin lelaki itu bilang akan berkunjung dan membicarakan satu minggu deklarasi, nyatanya? Omong kosong. Meskipun Taeyong menyampaikan izin berpergian, bagi Jisoo, izinnya terlambat. Dia terlanjur tahu berkat teman-temannya.
Karena kesal, lagi-lagi Jisoo memblok akun Taeyong tanpa memperdulikan permintaan dia untuk unblock. Toh, tersisa empat hari sebelum dia memberitakan bahwa hubungan mereka “kandas”.
“Lia!!!” teriaknya berlari menuju kamar sang adik. “Taeyong kalau nelfon gak usah diangkat!”
Masalah terulang kembali. Lia cuma memutar bola mata dengan malas menanggapi perintah sang kakak.
“Kakak tahu kamu sekongkol sama Taeyong!” Berkat pertukaran ponsel sehari, Jisoo jadi tahu bahwa adiknya diam-diam memberitahu Taeyong segala aktivitasnya, sejak terjadi deklarasi “blok massal”.
“Kalau dia nelfon, bilang aja gue mati!” ucapnya kemudian
“Kok gitu, Kak?”
“Gak usah bawel. Bilang gitu aja.”
Lia berdecak, tak banyak membantah karena enggan menanggapi maungan sang betina.
“Jangan sebut Kakak hidup. Sebut aja mati.”
“Emang kenapa, sih?”
Sang dara tak menjawab. Dia langsung menghilang di balik pintu, meninggalkan pertanyaan heran di kepala sang adok. Pikirnya, orang pacaran ribet. Mereka yang bermasalah, tapi Lia yang pusing memikirkan. Mana lagi diajak masuk ke zona masalah mereka.
Haeduh.
Setelah satu jam terlewat, lelaki yang dikenal sebagai pacar kakaknya itu benar saja menelfonnya. Lia mana bisa menolak, bila selama mengenal lelaki itu dia selalu baik padanya. Jadi, keputusan menerima telfonnya bukanlah suatu kekeliruan.
Lia sekadar tak mau dilibatkan dalam pertikaian mereka. Dia ingin menjadi orang penengah-kalaupun bisa.
“Mati,” jawabnya spontan sesuai perintah sang kakak tanpa menyalahi ataupun membenarkan.
“Huh? Mati gimana maksudnya, Lia?”
“Iya. Kata Kak Jisoo, dia mati,” balasnya bernada polos.
“Serius, Li.”
“Lia serius, ih!” omelnya agak sebal. “Kak Jisoo sendiri bilang gitu. Kalau Kak Taeyong nelfon katanya dia mati.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall in Hell | Taesoo [✔]
FanficJisoo menyesal menerima Taeyong sebagai kekasihnya. Penyesalan terus merutuki, karena berkat pemuda pemilik panggilan "gondrong" itu, hidup yang semula menyenangkan bagaikan bianglala, kini berubah menjadi roller coaster. ©2020 | Hippoyeaa