Sobekan Dua:
Kala langit berduka, aku bercerita[ASA]
Aku tidak pernah mendambakan menjadi si sulung yang di penuhi drama indah dihidupnya. Aku pun tidak pernah berpikir bagaimana bila si sulung tidak ada. Karena itu hanya membuatku berangan-angan di atas awan dan tertampar pada kenyataan lalu jatuh pada harapan.
Aku ya aku, si sulung ya si sulung tidak ada yang akan berubah. Kami punya sebuah takdir sendiri. Merangkai jalan cerita sendiri, ya walaupun tak semanis hidupnya.
Mungkin kalau si sulung tidak ada, tetap saja si bungsu ini tetaplah si bungsu. Walaupun sejauh apa dan kemana pun si sulung pergi tak akan ada yang menggantikannya. Kasih sayang akan selalu tercurahkan padanya. Lalu untukku walaupun sedekat apa pun aku berpijak tak akan ada yang menyadarinya.
Dibilang iri. Bohong bila aku berkata tidak. Tetapi mau dibuat apa? Diriku tak punya andil. Aku hanya dapat merikuk sambil menunggu sebuah keajaiban.
Kalian pasti berpikir bahwa aku ini si bungsu yang berego tinggi. Tak bisa mencintai hidupnya. Selalu mengeluh. Tak dapat bersyukur. Hidup dengan seribu satu angan.
Kalian punya hak atas itu, berpikir dan menyalurkan pendapat, kalian punya hak itu. Aku tak dapat melarang.
Namun aku juga boleh menjawab bukan? Aku juga punya hak membela diri 'kan? Itu yang ku pelajari dari sekolah, Satu manusia memiliki Hak dan Kewajiban yang terikat.
Aku memang berego tinggi. Karena aku tak ingin terlihat lemah. Menangis saja aku tidak boleh. Kenapa? Karena aku tidak boleh menjadi benalu yang hanya bisa hidup karena inangnya, begitu ujaran mereka padaku.
Aku mencintai hidupku. Karena tidak ada lagi yang akan mencintai hidupku selain diriku sendiri. Kalau memang aku tak mencintai hidupku mungkin kini yang tersisa hanya sebuah batu nisan dengan ukiran namaku di sana.
Aku suka mengeluh? Iya aku suka sekali mengeluh pada semesta. Dengan si angin sebagai tangan yang senantiasa terulur untukku. Dengan suara kicau riuk sebagai jawabannya. Dengan kanvas luas tak berujung sebagai ah- untukku menaruh harapan? Saat aku ingin tersenyum, tertawa, dan menangis terkadang aku tak punya tujuan selain tersenyum, tertawa dan menangis pada kanvas tak berujung, bernama langit.
Aku memang tak pandai bersyukur. Namun aku selalu belajar bagaimana menciptakan rasa syukur tersebut.
Hidup dengan seribu satu angan? Boleh aku ganti kata itu menjadi satu angan dengan seribu langkah? Agar aku mendapatkan sebuah kasih sayang.
Kini aku terbaring lemah di atas kasur, tubuh tengah merintih. Namun, peduli tak kunjung hadir. Ku coba menelan paracetamol berharap manjur pada tubuhku ini.
Aku rasa
Sebuah asa
Tak menaruh kuasa[ASA]
[kala diri duduk sambil mendengarkan lagu dengan tajuk halu]