Sobekan Sembilan:
Nyanyian malam milik si bungsu[Sebuah saran dari saya:
Alangkah baiknya
Bagian ini dibaca
Saat malam hari
Jam sembilan
Tetapi
Saat malam pun
Itu sudah cukup][ASA]
Menopang diri pada jembatan sambil menatap langit malam yang membentang. Merasakan angin malam yang begitu kejam menusuk diri, tetapi tidak ada bandingnya dengan tangkai yang telah tertanam kokoh di jantung yang setiap saat menimbulkan rasa sesak karena durinya yang senantiasa tumbuh.
Bunuh diri saja.
Mungkin kalau ada setan yang tiba-tiba lewat. Ucapan itu tidak sekadar mengalun seperti nyanyian di dalam kepala. Dilihat saat ini pun keadaannya sangat mendukung. Jalanan yang begitu sepi dan byur... aku melompat dari sini.
Lelah memikirkan, untuk apa aku melakukan ini semua. Toh, semuanya sia-sia. Apa pun yang aku lakukan tidak ada nilainya. Sampai kapan harus begini? Memangku tangan pada semesta.
"Dek." Suara bariton yang terdengar begitu lembut entah bagaimana membuat jantungku terasa perih, seakan tangkai kokoh yang tertanam kini bergoyang.
Ia melangkah mendekat, berdiri di sampingku. Sambil membawa payung, karena hari tengah geris.
"Aku akan pu-" Tak habis satu kalimat aku lontarkan. Si sulung sudah lebih dulu melontarkan untaian kata kepadaku.
"Indah ya," Ia manatapku sambil tersenyum lembut. Sungguh membuatku kesal.
"Aku tidak butuh keramah-tamahanmu yang bengis," ucapku sarkas. Jujur baru kali ini aku mengucapkan kata 'kamu' kepadanya.
Ia terkekeh, "Mau berteriak bersama?" tanyanya.
Aku tidak tahu bagaimana bisa air mata ini jatuh begitu mudah. Aku benci terlihat lemah. Walaupun pada nyatanya memang serapuh ini.
Ia memukul pelan pucuk kepalaku, "Menangis bukan berarti Dirga lemah. Menangis itu artinya Dirga kuat. Keluarkan suaramu. Supaya langit tahu Dirga itu ada."
Perintahnya seakan menghinoptisku untuk melakukannya. Bendungan yang sedari tadi aku jaga kini tidak dapat lagi terbendung. Aku kalah telak.
"Aku benci sulung!" ucapku sambil mengepalkan tangan kuat.
Aku bisa melihat senyum si sulung yang begitu merekah, "Tidak terdengar, teriaklah."
"AKU BENCI SULUNG. AKU BENCI SULUNG. AKU BENCI-" Jantungku kini terasa sesak seakan ranting pada tangkai yang tertanam di jantung ini kini patah. Entah, bagaimana bisa aku berucap kebohongan seperti itu.
"Lakukan semuanya untuk dirimu sendiri," tangannya kini terulur pada pundakku. Memukulnya pelan, membuat rasa semangat hadir secara bersamaan, "ayo pulang."
Setelah aku menapakkan kaki masuk ke dalam rumah aku mendapati raut cemas milik ibu yang kini menghiasi wajah senjanya. Tetapi, aku cukup tahu itu tidak tercurahkan untukku. Raut wajahnya seketika menjadi ruyam ketika melihatku, seakan siap menghujaniku dengan celaan karena telah memberatkan si sulung.
Si sulung langsung menyuruhku untuk pergi ke kamar dan menggenggam tangan ibu yang kini ingin mencegat pergerakanku.
Aku rasa
Sebuah asa
Tak menaruh kuasa[ASA]